Bismillaahirrahmaanirrahiem…
Alhamdulillah, setelah absen beberapa bulan lamanya, ana bisa kembali menulis di blog ini…
Ana ucapkan jazaakumullaahu khairan katsieran atas kepercayaan ikhwah
sekalian yg mengambil faidah dari blog sederhana ini. Ana juga
menghargai bila ada sebagian kalangan yg berbeda pendapat dengan ana dlm
satu dan lain hal, MISALNYA dalam menjelaskan status Negara Republik
Indonesia ini…
kalaulah ada ustadz-ustadz yg menganggap RI sebagai daarul Islam atau
daulah islamiyyah… maka ana menghargai pendapat tersebut. TAPI, bukan
berarti ana harus sependapat dengan mereka… Toh, menentukan status
negara seperti Indonesia adalah suatu ijtihad dan bukan masalah yg
memiliki dalil qoth’i, sehingga bila ada pihak yg menyelisihi maka tidak
bisa dicap sebagai mukhaalif limanhajis salaf (orang yg menyelisihi
manhaj salaf/bukan salafi).
Itu yg pertama.
Yg kedua, ana tidak menganggap RI sebagai Daarul Islam/Daulah
Islamiyyah dan tidak pula sebagai Daarul Kufr/Negara kafir… tapi, ia
lebih tepat digolongkan dalam Daar Murakkabah alias negeri gabungan, yg
memiliki makna Daarul Islam sekaligus Daarul Kufr. Pijakan ana dalam hal
ini adalah fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yg dinukil oleh murid
beliau _Ibnu Muflih_ dlm kitab Al Aadaabusy Syar’iyyah sbb:
فصل ( في تحقيق دار الإسلام ودار الحرب ) .
فكل دار غلب عليها أحكام المسلمين فدار الإسلام وإن غلب عليها أحكام الكفار
فدار الكفر ولا دار لغيرهما وقال الشيخ تقي الدين ، وسئل عن ماردين هل هي
دار حرب أو دار إسلام ؟ قال : هي مركبة فيها المعنيان ليست بمنزلة دار
الإسلام التي يجري عليها أحكام الإسلام لكون جندها مسلمين ، ولا بمنزلة دار
الحرب التي أهلها كفار ، بل هي قسم ثالث يعامل المسلم فيها بما يستحقه
ويعامل الخارج عن شريعة الإسلام بما يستحقه .
Fasal : Mendudukkan pengertian Daarul Islam dan Daarul Harbi
(Ibnu Muflih mengatakan): Semua negeri yg didominasi oleh
ajaran-ajaran Islam, maka ia menjadi Daarul Islam. Namun bila ia
didominasi oleh ajaran-ajaran kufur, maka ia adalah Daarul Kufr; dan
tidak ada lagi negeri selain yg kedua tadi. Adapun Syaikh Taqiyyuddien
(Ibn Taimiyyah) ketika ditanya tentang Marden, apakah ia dianggap Daarul
Harbi (Kufur) ataukah Daar Islam? beliau menjawab, “Dia (Marden)
merupakan Negeri Gabungan yang memiliki kedua makna tadi. Ia tidak bisa
dianggap setara dengan Daarul Islam yg diberlakukan padanya hukum2 Islam
karena tentaranya adalah kaum muslimin; dan tidak pula dianggap setara
dengan Daarul Harbi (Negara kafir) yg dihuni oleh orang-orang kafir.
Akan tetapi dia adalah negara tipe ketiga, di mana seorang muslim di
sana hendaknya diperlakukan sesuai dengan apa yg berhak dia terima;
sedangkan orang yg keluar dari syariat Islam juga diperlakukan sesuai
dengan yg berhak dia terima”. (Al Aadaabusy Syar’iyyah 1/239).
Ada sebagian kalangan yg hanya menilai suatu negara dari pemimpinnya… bila pemimpinnya muslim maka ia dianggap negara Islam.
Ada pula yg menilai dari syi’ar-syi’ar Islam yg nampak, seperti di
Indonesia yg masih menonjolkan syi’ar2 Islam spt adzan, shalat jum’ah,
shalat hari raya, dll… memang, semua sudut pandang tadi ada ‘salaf’-nya
dari para ulama. Ada sebagian ulama yg menilainya dari sudut
pemimpin/penguasa; dan ada pula yg dari segi dominasi hukum yg berlaku
di sana… Semuanya adalah penilaian yg mu’tabar.
TAPI, kalau kita hanya menilai secara parsial dan mengabaikan
sisi-sisi lainnya; maka penilaian tsb akan timpang. Misalnya jika kita
hanya melihat RI dari presidennya saja, dan mengabaikan menteri2nya,
gubernur2nya, walikota2nya dan bupati2nya… maka jelaslah penilaiannya
akan SANGAT TIMPANG. Sebab, kekuasaan presiden RI sangatlah terbatas,
dan ia tidak bisa bertindak kecuali sesuai UU yg berlaku… jadi, SIAPA YG
SEBENARNYA BERKUASA di Indonesia???
Presiden…?
Undang-undang…?
Ataukah keduanya?
Lalu, bila kita tinjau lagi, maka Undang-undang yg menjadi acuan
pemerintah/presiden itu sendiri juga dirumuskan oleh banyak orang dlm
DPR yg tidak semuanya muslim, dan yg muslim pun kebanyakan sekuler dan
bahkan anti islam…
Lalu bagaimana pula dengan walikota dan bupati yg jelas-jelas non
muslim di sebagian daerah? Kalau negeri ini kita anggap negara Islam,
berarti mereka yg non muslim itu menjadi waliyyul amr seperti yg ada di
negeri2 islam… Sedangkan Allah ta’ala berfirman yg artinya, “Hai
orang-orang yg beriman, taatilah Allah, taatilah Rasulullah, dan
penguasa-penguasa dari kalangan kalian (mukmin)”.
Kalau ada yg mengatakan bahwa para walikota dan bupati tadi adalah
orang-orang yg tunduk kpd kekuasaan pusat, dan membangkang kpd mreka
berarti membangkang kpd presiden; maka ini pun tidak tepat. Sebab yg
mengangkat dan memecat mrk bukanlah presiden, namun itu semua diatur
oleh sistem kafir yg bernama DEMOKRASI. Setiap yg terpilih lewat PILKADA
akan menjadi walikota/bupati selama periode ttt, dan otomatis berakhir
jabatannya bila masa tugasnya selesai…
Demikian pula dengan diakuinya agama-agama spt Nasrani, Hindu,
Buddha, dan Konghucu -bahkan Baha’i- sebagai agama yg sah… tidak hanya
sah, tapi disejajarkan dgn agama Islam. Bahkan hari raya mereka pun
dijadikan sebagai hari libur nasional (kec. Konghucu dan baha’i) seperti
hari raya umat Islam…
Jadi, yg paling tepat adalah menggolongkan RI sebagai negara gabungan.
Lantas apa tsamaratul khilaf dlm masalah ini? Apa konsekuensi dari
menganggap RI sebagai Daar Murakkabah dan bukannya Daarul Islam?
http://basweidan.com/sebuah-klarifikasi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar