Oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc
Laa hukma illa lillah (tiada hukum kecuali untuk Allah l). Kata-kata
ini haq adanya, karena merupakan kandungan ayat yang mulia. Namun jika
kemudian ditafsirkan menyimpang dari pemahaman as-salafush shalih,
kebatilanlah yang kemudian muncul. Bertamengkan kata-kata inilah,
Khawarij, kelompok sempalan pertama dalam Islam, dengan mudahnya
mengafirkan bahkan menumpahkan darah kaum muslimin.
Siapakah Khawarij?
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Mereka adalah orang-orang yang memberontak terhadap pemerintah di akhir
masa kepemimpinan Utsman bin ‘Affan z yang mengakibatkan terbunuhnya
beliau z. Kemudian di masa kepemimpinan ‘Ali bin Abu Thalib z, keadaan
mereka semakin buruk. Mereka keluar dari ketaatan terhadap ‘Ali bin Abu
Thalib z, mengafirkannya, dan mengafirkan para sahabat. Ini disebabkan
para sahabat tidak menyetujui mazhab mereka. Dan mereka menghukumi siapa
saja yang menyelisihi mazhab mereka dengan hukuman kafir. Akhirnya
mereka pun mengafirkan makhluk-makhluk pilihan yaitu para sahabat
Rasulullah n.” (Lamhatun ‘anil Firaqidh Dhallah, hlm. 31)
Cikal-bakal mereka telah ada sejak zaman Rasulullah n. Diriwayatkan dari
sahabat Abu Sa’id al-Khudri z, ia berkata, “Ketika kami berada di sisi
Rasulullah n dan beliau sedang membagi-bagi (rampasan perang), datanglah
Dzul Khuwaisirah dari Bani Tamim, kepada beliau. Ia berkata, ‘Wahai
Rasulullah, berbuat adillah!’ Rasulullah n pun bersabda, ‘Celaka engkau!
Siapa lagi yang berbuat adil jika aku tidak berbuat adil? Benar-benar
merugi jika aku tidak berbuat adil.’
Maka Umar bin al-Khaththab z berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkanlah aku
untuk memenggal lehernya!’ Rasulullah n berkata, ‘Biarkanlah ia,
sesungguhnya ia akan mempunyai pengikut yang salah seorang dari kalian
merasa bahwa shalat dan puasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan
shalat dan puasa mereka. Mereka selalu membaca Al-Qur’an namun tidaklah
melewati tenggorokan mereka1. Mereka keluar dari Islam sebagaimana
keluarnya anak panah dari ar-ramiyyah2. Dilihat nashl-nya (besi pada
ujung anak panah) maka tidak didapati bekasnya. Kemudian dilihat
rishaf-nya (tempat masuknya nashl pada anak panah) maka tidak didapati
bekasnya. Kemudian dilihat nadhiy-nya (batang anak panah) juga tidak
didapati bekasnya. Kemudian dilihat qudzadz-nya (bulu-bulu yang ada pada
anak panah) juga tidak didapati pula bekasnya. Anak panah itu
benar-benar dengan cepat melewati lambung dan darah (hewan buruan itu).
Ciri-cirinya, (di tengah-tengah mereka) ada seorang laki-laki hitam,
salah satu lengannya seperti payudara wanita atau seperti potongan
daging yang bergoyang-goyang. Mereka akan muncul di saat terjadi
perpecahan di antara kaum muslimin.”
Abu Sa’id al-Khudri z berkata, “Aku bersaksi bahwa aku mendengarnya dari
Rasulullah n. Aku bersaksi pula bahwa ‘Ali bin Abu Thalib z yang
memerangi mereka dan aku bersamanya. Maka ‘Ali z memerintahkan untuk
mencari seorang laki-laki (yang disifati oleh Rasulullah n, di antara
mayat-mayat mereka) dan ditemukanlah ia lalu dibawa (ke hadapan ‘Ali z).
Aku benar-benar melihatnya sesuai dengan ciri-ciri yang disifati oleh
Rasulullah n.” (Sahih, HR. al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, “Kitabuz
Zakat, bab Dzikrul Khawarij wa Shifaatihim”, 2/744)
Asy-Syihristani t berkata, “Siapa saja yang keluar dari ketaatan
terhadap pemimpin yang sah, yang telah disepakati, maka ia dinamakan
Khariji (seorang Khawarij), baik keluarnya di masa sahabat terhadap
al-Khulafa ar-Rasyidin maupun terhadap pemimpin setelah mereka di masa
tabi’in, dan juga terhadap pemimpin kaum muslimin di setiap masa.”
(al-Milal wan Nihal, hlm. 114)
Mengapa Disebut Khawarij?3
Al-Imam an-Nawawi t berkata, “Dinamakan Khawarij dikarenakan keluarnya
mereka dari jamaah kaum muslimin. Dikatakan pula karena keluarnya mereka
dari jalan (manhaj) jamaah kaum muslimin, dan dikatakan pula karena
sabda Rasulullah n:
يَخْرُجُ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا …
“Akan keluar dari diri orang ini…” (al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 7/145)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani t berkata, “Dinamakan dengan itu
(Khawarij) dikarenakan keluarnya mereka dari din (agama) dan keluarnya
mereka dari ketaatan terhadap orang-orang terbaik dari kaum muslimin.”
(Fathul Bari Bisyarhi Shahihil Bukhari, 12/296)
Mereka juga biasa disebut dengan al-Haruriyyah karena mereka (dahulu)
tinggal di Harura yaitu sebuah daerah di Irak dekat Kota Kufah, dan
menjadikannya sebagai markas dalam memerangi Ahlul ‘Adl (para sahabat
Rasulullah n). (al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin al-Hajjaj, 7/145)
Disebut pula dengan al-Maariqah (yang keluar), karena banyaknya
hadits-hadits yang menjelaskan tentang muruq (keluar)nya mereka dari din
(agama). Disebut pula dengan al-Muhakkimah, karena mereka selalu
mengulang kata-kata Laa Hukma Illa Lillah (tiada hukum kecuali untuk
Allah l), suatu kalimat yang haq namun dimaukan dengannya kebatilan.
Disebut pula dengan an-Nawashib, dikarenakan berlebihannya mereka dalam
menyatakan permusuhan terhadap ‘Ali bin Abu Thalib z. (Firaq Mu’ashirah,
1/68—69, Dr. Ghalib bin ‘Ali al-Awaji, secara ringkas)
Bagaimanakah Mazhab Mereka?
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata bahwa
mazhab mereka adalah tidak berpegang dengan As-Sunnah wal Jamaah, tidak
menaati pemimpin (pemerintah kaum muslimin, pen), berkeyakinan bahwa
memberontak terhadap pemerintah dan memisahkan diri dari jamaah kaum
muslimin merupakan bagian dari agama. Hal ini menyelisihi apa yang
diwasiatkan oleh Rasulullah n agar senantiasa menaati pemerintah (dalam
hal yang ma’ruf/yang tidak bertentangan dengan syariat) dan menyelisihi
apa yang telah diperintahkan oleh Allah l dalam firman-Nya:
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, serta Ulil Amri (pemimpin) di antara kalian.” (an-Nisa’: 59)
Allah l dan Nabi-Nya n menjadikan ketaatan kepada pemimpin sebagai bagian dari agama… Mereka (Khawarij) menyatakan bahwa pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik)
telah kafir, tidak diampuni dosa-dosanya, kekal di neraka, dan ini
bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam Kitabullah (Al-Qur’an).
(Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hlm. 31—33)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata, “Mereka berkeyakinan atas kafirnya
‘Utsman bin ‘Affan z dan orang-orang yang bersamanya. Mereka juga
berkeyakinan sahnya kepemimpinan ‘Ali z(sebelum kemudian dikafirkan oleh
mereka, pen.) dan kafirnya orang-orang yang memerangi ‘Ali z dari Ahlul
Jamal4.” (Fathul Bari, 12/296)
Al-Hafizh t juga berkata, “Kemudian mereka berpendapat bahwa siapa saja
yang tidak berkeyakinan dengan akidah mereka, maka ia kafir, halal
darah, harta, dan keluarganya.” (Fathul Bari, 12/297)
Beliau juga berkata, “Mereka terpecah dalam banyak kelompok. Namun di
antara prinsip yang disepakati oleh mereka semuanya adalah berpegang
dengan Al-Qur’an dan menolak segala tambahan yang terdapat di dalam
hadits Rasulullah n secara mutlak.” (Fathul Bari, 1/502)
Peperangan antara Khawarij dan Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib z
Setelah Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan terbunuh, maka orang-orang Khawarij
ini bergabung dengan pasukan Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib z. Dalam
setiap pertempuran pun mereka selalu bersamanya. Ketika terjadi
pertempuran Shiffin (tahun 38 H) antara pasukan Khalifah ‘Ali bin Abu
Thalib z dengan pasukan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan c dari penduduk
Syam yang terjadi selama berbulan-bulan—dikarenakan ijtihad mereka
masing-masing—, ditempuhlah proses tahkim (pengiriman seorang utusan
dari kedua belah pihak guna membicarakan solusi terbaik bagi masalah
yang sedang mereka alami).
Orang-orang Khawarij tidak menyetujuinya, dengan alasan bahwa hukum itu
hanya milik Allah l dan tidak boleh berhukum kepada manusia. Demikian
pula tatkala dalam naskah ajakan tahkim dari ‘Ali bin Abu Thalib z
termaktub: “Inilah yang diputuskan oleh Amirul Mukminin ‘Ali atas
Mu’awiyah…” lalu penduduk Syam tidak setuju dengan mengatakan, “Tulislah
namanya dan nama ayahnya,” (tanpa ada penyebutan Amirul Mukminin). ‘Ali
pun menyetujuinya, namun orang-orang Khawarij tetap mengingkari
persetujuan itu.
Setelah disepakati utusan masing-masing pihak yaitu Abu Musa al-Asy’ari
dari pihak ‘Ali dan ‘Amr bin al-‘Ash dari pihak Mu’awiyah, serta
disepakati pula waktu dan tempatnya (Dumatul Jandal), maka berpisahlah
dua pasukan tersebut. Mu’awiyah kembali ke Syam dan ‘Ali kembali ke
Kufah, sedangkan kelompok Khawarij dengan jumlah 8.000 orang (ada yang
menyebutkan lebih dari 10.000 orang dan riwayat lain 6.000 orang),
memisahkan diri dari ‘Ali dan bermarkas di daerah Harura yang tidak jauh
dari Kufah.
Pemimpin mereka saat itu adalah Abdullah bin Kawwa’ al-Yasykuri dan
Syabats at-Tamimi. Maka ‘Ali z mengutus sahabat Abdullah bin ‘Abbas c
untuk berdialog dengan mereka yang lantas banyak dari mereka yang
kemudian rujuk. Lalu ‘Ali z keluar menemui mereka, maka mereka pun
akhirnya menaati ‘Ali z, dan ikut bersamanya ke Kufah, bersama dua orang
pemimpin mereka. Kemudian mereka membuat isu bahwa ‘Ali z telah
bertaubat dari masalah tahkim. Hal itulah yang membuat mereka kembali
bersama ‘Ali z. Sampailah isu ini kepada ‘Ali z, lalu ia berkhutbah dan
mengingkarinya. Maka mereka pun saling berteriak dari bagian samping
masjid (dengan mengatakan), “Tiada hukum kecuali untuk Allah.” ‘Ali z
pun menjawab, “Kalimat yang haq (benar) namun yang dimaukan dengannya
adalah kebatilan!”
Kemudian ‘Ali z berkata kepada mereka, “Hak kalian yang harus kami
penuhi ada tiga: Kami tidak akan melarang kalian masuk masjid, tidak
akan melarang kalian dari rezeki fai’, dan tidak akan pula memulai
penyerangan selama kalian tidak berbuat kerusakan.”
Secara berangsur-angsur pengikut Khawarij akhirnya keluar dari Kufah dan
berkumpul di daerah al-Mada’in. ‘Ali z senantiasa mengirim utusan agar
mereka rujuk. Namun mereka tetap bersikeras menolaknya sampai ‘Ali z mau
bersaksi atas kekafiran dirinya dikarenakan masalah tahkim atau
bertaubat. Lalu ‘Ali z mengirim utusan lagi (untuk mengingatkan mereka),
namun justru utusan tersebut hendak mereka bunuh. Mereka bahkan
bersepakat bahwa yang tidak berkeyakinan dengan akidah mereka maka dia
kafir, halal darah dan keluarganya.
Aksi mereka kemudian berlanjut dalam bentuk fisik, yaitu menghadang dan
membunuh siapa saja dari kaum muslimin yang melewati daerah mereka.
Ketika Abdullah bin Khabbab bin al-Art t—yang saat itu menjabat sebagai
salah seorang gubernur ‘Ali bin Abu Thalib z—berjalan melewati daerah
kekuasaan Khawarij bersama budak wanitanya yang tengah hamil, mereka pun
membunuhnya serta merobek perut budak wanitanya untuk mengeluarkan
janin dari perutnya.
Sampailah berita ini kepada ‘Ali z, maka ia pun keluar untuk memerangi
mereka bersama pasukan yang sebelumnya dipersiapkan ke Syam. Akhirnya
mereka berhasil ditumpas di daerah Nahrawan beserta para gembong mereka
seperti Abdullah bin Wahb ar-Rasibi, Zaid bin Hishn ath-Tha’i, dan
Harqush bin Zuhair as-Sa’di. Tidak selamat dari mereka kecuali kurang
dari 10 orang, dan tidaklah terbunuh dari pasukan ‘Ali kecuali sekitar
10 orang.
Sisa-sisa Khawarij ini akhirnya bergabung dengan simpatisan mazhab
mereka dan sembunyi-sembunyi semasa kepemimpinan ‘Ali z, hingga salah
seorang dari mereka yang bernama Abdurrahman bin Muljam berhasil
membunuh ‘Ali z yang saat itu hendak melakukan shalat subuh. (diringkas
dari Fathul Bari karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani t, 12/296—298,
dengan beberapa tambahan dari al-Bidayah wan Nihayah, karya al-Hafizh
Ibnu Katsir t, 7/281)
Kafirkah Khawarij?
Kafirnya Khawarij masih diperselisihkan di kalangan ulama. Al-Hafizh
Ibnu Hajar t berkata, “Sebagian besar ahli ushul dari Ahlus Sunnah
berpendapat bahwasanya Khawarij adalah orang-orang fasiq
dan hukum Islam berlaku atas mereka. Hal ini dikarenakan mereka
mengucapkan dua kalimat syahadat dan selalu melaksanakan rukun-rukun
Islam. Mereka dihukumi fasiq, karena pengafiran mereka terhadap kaum
muslimin berdasarkan takwil (penafsiran) yang salah, yang akhirnya
menjerumuskan mereka pada keyakinan akan halalnya darah dan harta
orang-orang yang bertentangan dengan mereka, serta persaksian atas
mereka dengan kekufuran dan kesyirikan.” (Fathul Bari, 12/314)
Al-Imam al-Khaththabi t berkata, “Ulama kaum muslimin telah bersepakat
bahwasanya Khawarij dengan segala kesesatannya tergolong firqah dari
firqah-firqah muslimin, boleh menikahi mereka, memakan sembelihan
mereka, dan mereka tidak dikafirkan selama masih berpegang dengan pokok
keislaman.” (Fathul Bari, 12/314)
Al-Imam Ibnu Baththal t berkata, “Jumhur ulama berpendapat bahwasanya
Khawarij tidak keluar dari kumpulan kaum muslimin (masih muslim, red.).”
(Fathul Bari, 12/314)
Sebab-Sebab Kesesatan Khawarij
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Yang
demikian itu disebabkan kebodohan mereka tentang agama Islam, bersamaan
dengan wara’ (sikap kehati-hatian), ibadah, dan kesungguhan mereka.
Namun tatkala semua itu (wara’, ibadah, dan kesungguhan) tidak
berdasarkan ilmu yang benar, akhirnya menjadi bencana bagi mereka.”
(Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hlm. 35)
Demikan pula, mereka enggan untuk mengambil pemahaman para sahabat
(as-Salafush Shalih) dalam memahami masalah-masalah din ini, sehingga
terjerumuslah mereka ke dalam kesesatan.
Anjuran Memerangi Mereka5
Rasulullah n bersabda:
فَإِذَا لَقِيْتُمُوْهُمْ فَاقْتُلُوْهُمْ فَإِنَّ فِي قَتْلِهِمْ أَجْراً لِمَنْ قَتَلَهُمْ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Maka jika kalian mendapati mereka (Khawarij, pen.), perangilah mereka!
Karena sesungguhnya orang-orang yang memerangi mereka akan mendapat
pahala di sisi Allah pada hari kiamat.” (Sahih HR. Muslim dalam
Shahih-nya, 2/747, dari sahabat ‘Ali bin Abu Thalib z)
Beliau n juga bersabda:
لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ
“Jika aku mendapati mereka (Khawarij), benar-benar aku akan perangi
seperti memerangi kaum ‘Aad.” (Sahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya,
2/742, dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri z)
Dalam lafadz yang lain, beliau n bersabda:
لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ ثَمُوْدَ
“Jika aku mendapati mereka, benar-benar aku akan perangi seperti
memerangi kaum Tsamud.” (Sahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/742, dari
sahabat Abu Sa’id al-Khudri z)
Al-Imam Ibnu Hubairah t berkata, “Memerangi Khawarij lebih utama dari
memerangi orang-orang musyrikin. Hikmahnya, memerangi mereka merupakan
penjagaan terhadap ‘modal’ Islam (kemurnian Islam, pen.), sedangkan
memerangi orang-orang musyrikin merupakan ‘pencarian laba’, dan
penjagaan modal tentu lebih utama.” (Fathul Bari, 12/315)
Samakah Musuh-Musuh ‘Ali bin Abu Thalib z dalam Perang Jamal dan Shiffin dengan Khawarij?
Pendapat yang menyatakan bahwa musuh-musuh ‘Ali bin Abu Thalib z sama
dengan Khawarij ini tentunya tidak benar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t
berkata, “Adapun jumhur ahli ilmu, mereka membedakan antara orang-orang
Khawarij dengan Ahlul Jamal dan Shiffin, serta selain mereka yang
terhitung sebagai penentang dengan berdasarkan ijtihad. Inilah yang
ma’ruf dari para sahabat, keseluruhan ahlul hadits, fuqaha, dan
mutakallimin. Di atas pemahaman inilah, nash-nash mayoritas para imam
dan pengikut mereka dari murid-murid Malik, asy-Syafi’i, dan selain
mereka.” (Majmu’ Fatawa, 35/54)
Nasihat dan Peringatan
Mazhab Khawarij ini sesungguhnya terus berkembang (di dalam merusak
akidah umat) seiring dengan bergulirnya waktu. Oleh karena itu,
asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menasihatkan,
“Wajib bagi kaum muslimin di setiap masa, jika terbukti telah mendapati
mazhab yang jahat ini untuk mengatasinya dengan dakwah dan penjelasan
kepada umat tentangnya. Jika mereka (Khawarij) tidak mengindahkannya,
hendaknya kaum muslimin memerangi mereka dalam rangka membentengi umat
dari kesesatan mereka.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hlm. 37)
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Al-Qadhi ‘Iyadh t berkata, “Padanya terdapat dua pengertian:
Pertama, hati mereka tidak memahami Al-Qur’an tersebut dan tidak pula
mengambil manfaat dari apa yang mereka baca. Mereka tidak melakukan
kecuali hanya sebatas bacaan mulut dan tenggorokan yang dengannya keluar
potongan-potongan huruf. Kedua, amalan dan bacaan mereka tidak diterima
di sisi Allah l.” (Ta’liq Shahih Muslim, 2/740, Muhammad Fuad Abdul
Baqi)
2 Al-Imam al-Mubarakfuri t berkata, “Ar-Ramiyyah adalah hewan buruan
yang dipanah. Keluarnya mereka (Khawarij) dari agama ini diumpamakan
dengan anak panah yang mengenai buruan lalu masuk hingga tembus. Karena
begitu cepatnya laju anak panah tersebut (dikarenakan kuatnya si
pemanah) maka tidak ada sesuatu pun dari jasad (darah ataupun daging)
hewan buruan itu yang berbekas pada anak panah.” (Tuhfatul Ahwadzi,
6/426)
3 Kata “Khawarij” merupakan bentuk jamak dari “kharij” yang artinya “orang yang keluar”.
4 Ahlul Jamal adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah, az-Zubair bin al-’Awwam,
Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan orang-orang yang bersama mereka g yang
menuntut dihukumnya para pembunuh Utsman bin Affan z, setelah mereka
membai’at ‘Ali bin Abu Thalib z. (pen)
5 Adapun memerangi mereka bukanlah urusan perseorangan atau kelompok
tertentu namun di bawah naungan pemerintah, sebagaimana dijelaskan para
ulama tentang aturannya dalam kitab-kitab fiqih.
http://asysyariah.com/khawarij-kelompok-sesat-pertama-dalam-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar