Oleh: Ust. Dzulqarnain Makassar
Dalam bab ini,
akan diuraikan beberapa catatan berkaitan dengan pemahaman Imam Samudra
terhadap jihad. Dan hal ini termasuk masalah prinsip yang merupakan
dasar kekeliruan Imam Samudra dalam bukunya.
1. Kekeliruan Seputar Definisi Jihad
Berkata penulis, “
Pengertian Jihad
Dari segi bahasa
(etimologi), secara simpel jihad berarti bersungguh-sungguh,
mencurahkan tenaga untuk mencapai satu tujuan. Dalam hal ini, seseorang
yang bersungguh-sungguh dalam mencari jejak bisa dikategorikan jihad.
Dari segi istilah, jihad berarti bersungguh-sungguh memperjuangkan hukum Allah, mendakwahkannya serta menegakkannya.
Dari segi
syar’i, jihad berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam
dan kaum muslimin. Pengertian syar’i ini lebih terkenal dengan sebutan
“jihad fi sabilillah”. Seingatku, ketiga definisi di atas telah menjadi
ijma’ (konsensus) para ulama Salafush-Shalih, terutama dari kalangan
empat mazhab (Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi). Jadi tidak ada
perselisihan pendapat, dalam hal ini pendefinisian jihad.” [1]
Tanggapan
Ada tiga catatan untuk ucapan penulis di atas;
Pertama
Ucapan penulis,
“Dalam hal ini, seseorang yang bersungguh-sungguh dalam mencari jejak
bisa dikategorikan jihad” adalah ucapan yang tidak ada manfaatnya di
sini. Sebab bila dikatakan jihad secara bahasa adalah
bersungguh-sungguh, mencurahkan tenaga untuk mencapai satu tujuan,
artinya bersungguh-sungguh dalam seluruh perkara. Maka tidak perlu
sebenarnya penulis memberi contoh dengan “mencari jejak” yang akan
mengesankan –kalau tidak memastikan- bahwa penulis terlalu mencari
pembenaran terhadap aksi peledakan yang dilakoninya. Kemudian kata
“mencari jejak” mungkin bermakna baik dan mungkin bermakna buruk sesuai
dengan ragam jejak yang dia cari.
Seharusnya
penulis tidak memberi contoh bukan pada tempatnya sehingga membuka pintu
yang terlalu luas dalam memahami arti jihad.
Jihad secara
bahasa memang punya hubungan dengan jihad secara syar’i namun yang
menjadi patokan hukum adalah pengertian secara syar’i.
Kedua
Ucapan penulis,
“Dari segi istilah, jihad berarti bersungguh-sungguh memperjuangkan
hukum Allah, mendakwahkannya serta menegakkannya. Dari segi syar’i,
jihad berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam dan kaum
muslimin.” adalah membolak-balik antara definisi yang disebutkan oleh
para ulama dalam buku-buku mereka.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mendefinisikan jihad secara istilah (terminolagi), “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir.” [2]
Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah,
disebutkan kesimpulan para ahli fiqih dari berbagai madzhab bahwa jihad
secara istilah adalah “muslim memerangi kafir yang tidak dalam
perjanjian damai setelah didakwahi dan diajak kepada Islam, guna
meninggikan kalimat Allah.”
Adapun secara syar’i jihad mempunyai cakupan umum meliputi empat perkara;
Pertama : Jihadun Nafs (Jihad dalam memperbaiki diri sendiri)
Kedua : Jihadusy Syaithon (Jihad melawan syaithon)
Ketiga : Jihadul Kuffar wal Munafiqin (Jihad melawan orang-orang kafir dan kaum munanafqin)
Keempat : Jihad Arbabuzh Zholmi wal Bida’ wal Munkarat (Jihad menghadapi orang-orang zholim, ahli bid’ah, dan pelaku kemungkaran).
Berkata
Ar-Raghib Al-Ashbahany menerangkan hakikat jihad, “(Jihad) adalah
bersungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kemampuan dalam melawan musuh
dengan tangan, lisan, atau apa saja yang ia mampu. Dan (jihad) tiga
perkara; berjihad melawan musuh yang nampak, syaithan dan diri sendiri.
Dan ketiganya (tercakup) dalam firman (Allah) Ta’ala,
“Dan berjihadlah kalian pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj : 78)” [3]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jihad kadang dengan hati seperti berniat
dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya, atau dengan berdakwah kepada
Islam dan syari’atnya, atau dengan mengakkan hujjah (argumen) terhadap
penganut kebatilan, atau dengan ideologi dan strategi yang berguna bagi
kaum muslimin, atau berperang dengan diri sendiri. Maka jihad wajib
sesuai dengan apa yang memungkinkannya.” [4]
Dan telah berlalu pembahasan secara terperinci dalam Bab II yang berkaitan dengan jihad.
Sekedar
kami isyaratkan dengan perbandingan di atas bahwa penulis sangatlah
timpang dalam memahami definisi jihad. Kemudian para pembaca bisa
mengukur, apakah orang yang keadaannya seperti ini pantas untuk
berbicara tentang masalah jihad yang sangat detail dan butuh keilmuan
yang mendalam?
Kemudian ucapannya,
“Dari segi istilah, jihad berarti bersungguh-sungguh memperjuangkan
hukum Allah, mendakwahkannya serta menegakkannya”, adalah definisi yang
lebih diwarnai oleh dasar pemikiran penulis yang berarus Khawarij, di
mana mereka mengangkat seluruh masalah agama dengan nama memperjuangkan
hukum Allah. Adalah kewajiban penulis untuk membuktikan bahwa ada dari
kalangan ulama yang diakui dari dahulu hingga sekarang yang
mendefinisikan jihad secara istilah dengan makna memperjuangkan hukum
Allah.
Dan kami
mengakui bahwa memperjuangkan hukum Allah bagian dari jihad dalam makna
yang umum, namun, itu bukanlah makna secara istilah sebagaimana yang
disebutkan oleh para ulama dalam buku-buku mereka.
Ketiga
Ucapan penulis,
“Seingatku, ketiga definisi di atas telah menjadi ijma’ (konsensus) para
ulama Salafush-Shalih, terutama dari kalangan empat mazhab (Syafi’i,
Hambali, Maliki, Hanafi). Jadi tidak ada perselisihan pendapat, dalam
hal ini pendefinisian jihad.”
Kandungan dari
apa telah kami jelaskan tentang definisi jihad secara istilah maupun
syar’i memang tidak ada silang pendapat di kalangan para ulama dan
semuanya terhitung fi sabilillah. Adapun rincian yang
disebutkan oleh penulis telah diketahui kritikan padanya. Dan
kelihatannya kerancuan rincian penulis akibat jurus “Seingatku”, sebuah
jurus yang sangat konyol dalam ring penulisan.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Ilmu itu dua hal; kadang penukilan yang terpercaya, dan kadang pembahasan yang penuh tahqiq (kejelasan, kepastian) dan selain itu adalah igauan yang dicuri.” [5] Wallahu A’lam.
2. Kekeliruan Seputar Hukum Jihad
Penulis berkata, “Lebih dari itu, panggilan suci itu akhirnya lebih wujud sebagai perintah suci dari Allah Yang Maha Suci.
Perangilah mereka (orang-orang kafir itu), kelak Allah akan menyiksa mereka dengan perantara tangan-tangan kamu…(At-Taubah: 14).
Ya! PERANGILAH MEREKA !!
Siapa yang
berani menyangkal bahwa itu adalah perintah Allah? Sedangkan semua Ulama
ushul fiqh mengerti bahwa, “Status dari perintah (dari Allah) adalah
wajib, sampai datang keterangan lain yang mengubah kepada status selain
wajib.”
Akhirnya,
penggilan suci menjadi perintah suci, dan menjadi kewajiban suci.
Mengerjakannya mendapat pahala dan meninggalkannya mengakibatkan kita
beroleh dosa. Bahkan bukan sekadar dosa. Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengancam mereka yang meninggalkan jihad dengan siksa yang pedih, siksa
yang berat,
Jika kamu tidak berangkat untuk berperang niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih!…(At-Taubah: 39)
Kalau Allah
menyiksa kita dengan siksaan yang pedih, adakah selain-Nya yang mampu
menyelamatkan kita dan menghentikan siksa-Nya? Adakah siksa yang lebih
pedih dari siksa Allah? Hanya manusia-manusia tolol, bodoh, idiot, dan
mati hati sajalah yang tidak takut akan ancaman Allah Yang Maha Gagah!
Yang Maha Kuat! Yang Maha Perkasa!
Aku hanya secuil
debu di antara segelintir manusia yang sangat takut dengan ancaman
Allah tersebut. Dan aku sama sekali tidak punya sepotong alasan pun
untuk tidak menjalankan kewajiban suci tersebut…” [6]
Tanggapan
Dalam ucapannya di atas terkandung bebarapa kesalahan yang cukup memperihatinkan, di antaranya,
1. Kelancangan
penulis menjatuhkan hukum siksa dan ancaman Allah bagi siapa yang tidak
menegakkan jihad di zaman ini. Seakan-akan tidak ada lagi yang mendapat
udzur-udzur syar’iy dalam hal tersebut.
2. Penetapan
hukum wajib secara mutlak tanpa memperhatikan syarat-syarat
ditegakkannya sebuah jihad dalam timbangan syari’at. Padahal suatu hal
yang sudah merupakan kesepakatan para ulama bahwa jihad hukumnya adalah fardhu kifayah yang bila sebagian dari kaum muslimin telah menegakkannya maka gugurlah dosa terhadap yang lainnya, dan menjadi fardhu ‘ain
atas setiap muslim pada empat keadaan sebagaimana yang telah
dijelaskan, dan jihad wajib ditegakkan di bawah kepemimpinan seorang
penguasa muslim dan ada kekuatan yang cukup pada kaum muslimin.
3. Memakai
kaidah ushul fiqh bukan pada tempatnya. Kaidah yang dipakai oleh
penulis memang benar, tapi penulis –sebagaimana kebiasaannya, hanya
mengambil sebagian dalil dan meninggalkan sebagian yang lain- kurang
pandai menggunakan kaidah tersebut, di mana sejumlah dalil disebutkan
oleh para ulama di berbagai buku fiqh yang menunjukkan adanya rincian
detail tentang hukum asal jihad dan syarat-syaratnya.
4. Gaya
penuturan penulis sangatlah mirip dengan kebiasaan orang-orang Khawarij
dalam penerapan dalil-dalil ancaman tanpa melihat kepada dalil-dalil
lainnya. Dan penetapan hukum wajib untuk berjihad secara mutlak dan
memperhatikan syarat-syarat wajibnya juga merupakan salah satu ciri
mereka yang diikuti oleh penulis di sini.
3. Kekeliruan Berkaitan Marhaliyyah (tahapan-tahapan) Jihad
Penulis berkata, “Untuk sampai kepada pemahaman yang utuh dan baik tentang Operasi Jihad Bom Bali, paling tidak harus memahami marhaliyyah
(tahapan-tahapan) jihad yang disyariatkan dalam Islam menurut pemahaman
Salafush-Shalih…” kemudian penulis menyebutkan empat tahapan dari
jihad,
Tahap I : Menahan Diri
Tahap II : Diizinkan Berperang
Tahap III : Diwajibkan Memerangi Secara Terbatas
Tahap IV : Kewajiban Memerangi Seluruh Kaum Kafir/Musyrik.
Kemudian penulis menyimpulkan, “Menurut Ibnu ‘Abbas Radiyallahu ‘anhu., seperti disebutkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib, bahwa ayat: “Maka maafkanlah dan biarkan mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya” (Al-Baqarah: 109), telah dimansukh
(diganti) oleh ayat 5 dan ayat 29 surat At-Taubah. Demikian pula
pendapat Abu ‘Aliyah, Ar-Rabi’ bin Anas, Qatadah, dan As-Sudi, bahwa
ayat di atas telah dimansukh oleh Ayat Pedang (ayatus saif; ayat 5 dan 29 surat At-Taubah). Dengan turunnya ayatus saif
ini, maka segala perjanjian yang pernah ada antara Nabi Muhammad saw.
Dengan kaum musyrikin dihapuskan. Pada periode ini, seluruh kaum
musyrikin diperangi, kecuali jika mereka bertaubat, masuk Islam,
mendirikan sholat, dan membayar zakat…” kemudian penulis berkata,
“Dengan demikian, turunnya ayatus saif dan ayat ke-36 juga
surat At Taubah, merupakan tahapan akhir dari syariat jihad. Dimana,
surat ini merupakan surat terakhir yang Allah turunkan kepada Nabi
Muhammad saw.” [7]
Tanggapan
Tidak diragukan bahwa jihad memang mempunyai marhaliyyah (tahapan-tahapan), diuraikan secara lengkap dalam sirah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan didukung oleh nash-nash syar’iy. Sehingga para ulama menyimpulkan hal tersebut dalam empat tahapan[8] :
Tahapan Pertama : Menahan diri dari melakukan peperangan. Dan ini merupakan tahapan yang paling lama dalam sirah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
“Tidakkah
kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: “Tahanlah
tanganmu (dari berperang), dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat!”
Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari
mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya
kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata:
“Ya Rabb kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa
tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu
lagi?” Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat
itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan
dianiaya sedikitpun.” (QS. An-Nisa` : 77)
Tahapan Kedua : Sekedar izin berperang tanpa ada nash perintah. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Telah
diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu)
orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan
yang benar, hanya karena mereka berkata: “Rabb kami hanyalah Allah”.” (QS. Al-Hajj : 39-40)
Tahapan Ketiga : Hanya memerangi orang-orang yang memerangi kaum muslimin dan menahan diri dari selainnya. Dalilnya adalah firman-Nya,
“Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi)
janganlah kalian melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah : 190)
Tahapan Keempat : Memerangi orang-orang kafir hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah (upeti). Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
“Kalian akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam).” (QS. Al-Fath : 16)
“Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada
hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar
(agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah : 29)
Demikian tahapan-tahapan kewajiban jihad. Dan kami tidak memberikan cacatan untuk Imam Samudra dalam masalah marhaliyyah (tahapan-tahapan) jihad tersebut. Namun, yang menjadi letak pembahasan disini adalah kesimpulan yang ia pahami dari marhaliyyah (tahapan-tahapan) jihad tersebut.
Penulis memahami bahwa tahapan keempat adalah “merupakan tahapan akhir dari syariat jihad” [9], dan ia menghapus seluruh tahapan sebelumnya. Penulis menyatakan “Menurut Ibnu ‘AbbasRadiyallahu ‘anhu., seperti disebutkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib, bahwa ayat: “Maka maafkanlah dan biarkan mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya” (Al-Baqarah: 109), telah dimansukh
(diganti) oleh ayat 5 dan ayat 29 surat At-Taubah. Demikian pula
pendapat Abu ‘Aliyah, Ar-Rabi’ bin Anas, Qatadah, dan As-Sudi, bahwa
ayat di atas telah dimansukh oleh Ayat Pendang (ayatus saif; ayat 5 dan 29 surat At-Taubah). Dengan turunnya ayatus saif ini, maka segala perjanjian yang pernah ada antara Nabi Muhammad saw.” [10]
Tanggapan
Kesimpulan
penulis di atas merupakan salah satu hal yang melandasi kekeliruan
pemahamannya sehingga ia menjatuhkan hukum wajib jihad secara mutlak dan
menvonis hukum siksa dan ancaman Allah bagi siapa yang tidak menegakkan
jihad di zaman ini -sebagaimana yang telah lalu-.
Dan kekeliruan kesimpulannya di atas bisa diuraikan dari beberapa sisi:
Satu :
Merupakan kaidah dasar dalam memahami sebuah nash syar’iy adalah
mengamalkan seluruh nash tersebut dan mengkompromikannya bila terkesan
ada pertentangan antara nash-nash tersebut. Dan inilah seharusnya yang
ditempuh dalam memahami tahapan-tahapan jihad di atas, diamalkan sesuai
dengan kondisi yang Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para shahabatnya menerapkannya.
Dua : Anggapan penulis bahwa ayatus saif telah memansukhkan
ayat-ayat yang memberi makna sabar dan memaafkan orang kafir dengan
membawakan pendapat beberapa nama ulama tafsir adalah merupakan suatu
kesalahan dalam memahami makna mansukh dalam istilah para ulama. Penulis menerjamah kalimat mansukh dengan makna “diganti”, menunjukkan bahwa penulis mendefinisikan mansukh disini dengan istilah orang-orang belakangan. Sedangkan istilah para ulama terdahulu dalam menggunakan kalimat mansukh lebih luas cakupannya dari itu. Kadang mereka menggunakan kalimat mansukh pada hal yang dikhususkan sisi pendalilannya, pada nash yang mutlak yang dikembalikan kepada nash muqayyad (terbatas), bahkan kadang menjelaskannya dengan teks lainnya mereka anggap naskh. Demikian keterangan Ibnul Qayyim rahimahullah.[11] Dan Asy-Syathiby rahimahullah menyebutkan sejumlah contoh yang menunjukkan bahwa kadang para ulama mengatakan “nash ini adalah mansukh” tapi yang mereka inginkan bukan terhapus hukumnya, melainkan dikhususkan kandungan, dibatasi atau ditafsirkan.[12]
Perhatikanlah wahai para pembaca, betapa pentingnya mengetahui ilmu-ilmu agama secara mendetail. Kurang memahami hakikat makna “Mansukh”
saja menjatuhkan penulis dalam sebuah kesalahan besar; menganggap bahwa
tahapan keempat telah menghapus tahapan-tahapan sebelumnya.
Tiga : Setelah memahami uraian di atas, maka akan bisa dipahami betapa luas keilmuan Ibnu Taimiyah rahimahullah
tatkala beliau memahami tahapan-tahapan jihad di atas. Beliau berkata,
“Siapa saja dari kaum mukminin berada pada sebuah negeri yang ia lemah
padanya, atau pada suatu waktu yang ia lemah padanya, maka hendaknya ia
beramal dengan ayat tentang sabar dan memaafkan orang-orang yang
mengganggu Allah dan Rasul-Nya dari kalangan Ahlul Kitab dan kaum
musyriki. Adapun orang-orang yang kuat, hendaknya ia beramal dengan ayat
tentang memerangi Ahlul Kitab sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” [13]
4. Kepemimpinan Jihad Versi Imam Samudra
Penulis
menyatakan, “Ketiadaan Khilafah atau Daulah Islamiyah saat ini, tidak
menghalangi terselenggaranya jihad. Seharusnya ketiadaan Khalifah atau
Amir (pemimpin) Islam tidak pula menghalangi jihad, juga tidak
menyebabkan jihad berhenti atau tertunda. Ibnu Qudamah berkata:
“Sesungguhnya ketiadaan Imam tidak mengakibatkan jihad tertunda, karena
kemaslahatan jihad akan terganggu dengan penundaan tersebut.”.” [14]
Tanggapan
Makna ucapan
penulis di atas, bahwa boleh menyelenggarakan jihad walaupun tidak
berada di bawah kepemimpinan seorang pemerintah muslim. Dan ini
merupakan salah satu prinsip dasar kaum Khawarij yang menyelesihi
nash-nash jelas nan tegas yang telah berlalu uraiannya dalam bab-bab
yang berkaitan dengan jihad.
Andaikata
penulis hanya menyandarkan prinsipnya ini kepada dirinya semata, maka
itu adalah suatu hal yang wajar dan ringan. Namun penulis di sini
memberikan kerancuan yang sangat besar kepada para pembaca tatkala ia
menyandarkan hal tersebut kepada Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdasy rahimahullah, salah seorang tokoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang ternama.
Saya tidak mengetahui cetakan kitab Al-Mughni mana yang dipakai oleh penulis dalam pengacuannya terhadap ucapan Ibnu Qudamah tersebut.
Tapi dugaan
besar saya, bahwa penulis menukil ucapan Ibnu Qudamah itu dari orang
lain dengan mengambil catatan jilid dan halamannya. Sehingga penulis
terjatuh dalam menisbatkan sesuatu kepada Ibnu Qudamah, apa yang beliau
tidak ucapkan.
Apa yang dinukilkan oleh penulis dari Ibnu Qudamah dengan redaksi di atas, kami tidak ketemukan dalam kitab Al-Mughny
dalam pembahasan Jihad. Bahkan yang kami ketemukan adalah ucapan-ucapan
yang sangat berseberangan dengan nukilan penulis. Diantaranya, Ibnu
Qudamah menekankan keyakinan seluruh ulama Ahlus Sunnah akan harusnya
jihad dibelakang setiap Imam (pemimpin negara) baik maupun fajir, dan
beliau berkata setelah membawakan beberapa dalil tentang hal tersebut,
“…dan karena meninggalkan jihad bersama (Imam) fajir akan mengantarkan
kepada terputusnya jihad itu, nampaknya (berkuasanya, -pent.)
orang-orang kafir di atas kaum muslimin dan pembinasaan terhadap mereka,
dan nampaknya kalimat kekufuran, dan padanya terdapat kerusakan yang
besar. Allah Ta’ala berfirman,
“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini.” [Al-Baqarah: 251].”[15]
Dan Ibnu Qudamah
berkata, “Dan urusan jihad kembali kepada Imam dan ijtihadnya, dan
rakyat wajib taat kepadanya pada pendapatnya dalam hal tersebut…”[16]
Bahkan dalam jihad difa’i
sekalipun, Ibnu Qudamah mengharuskan untuk menegakkan jihad dengan izin
penguasa –bila hal tersebut memungkinkan-. Beliau berkata setelah
menurunkan beberapa dalil tentang wajibnya meminta izin kepada penguasa
dalam urusan jihad, “…dan sesungguhnya mereka, apabila musuh telah
datang, maka jihad menjadi wajib ‘ain terhadap mereka, sehingga menjadi
wajib terhadap seluruhnya dan tidaklah diperbolekan bagi seorang pun
untuk alpa. Apabila hal ini telah tetap, maka mereka tidaklah boleh
keluar (jihad) kecuali dengan izin Amir (pemimpin) karena urusan perang
diserahkan kepadanya, dan ia lebih mengerti banyak sedikitnya musuh,
makar dan tipu daya mereka. Maka seharusnya hal tersebut dikembalikan
kepada pendapatnya, karena itu lebih berhati-hati untuk kaum muslimin,
kecuali bila sulit untuk meminta izin karena musuh yang menyerang mereka
secara tiba-tiba, maka tidak wajib meminta izin karena mashlahat
mengharuskan untuk memerangi dan keluar terhadap mereka, (juga) karena
akan pasti terjadi kerusakan bila meninggalkan (memerangi) mereka.
Karena itulah, tatkala orang-orang kafir menyerang pengembala kambing
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dengan diam-diam, lalu
mereka didapati oleh Salamah bin Al-Akwa’ yang sedang keluar dari
Madinah, (Salamah) mengikuti mereka kemudian membunuh mereka tanpa izin.
Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memuji beliau seraya berkata, “Sebaik-baik pasukan kami adalah Salamah bin Al-Akwa’”, dan (Nabi) memberi beliau jatah seorang penunggang kuda sekaligus pejalan kaki.” [17]
Demikian beberapa nukilan dari Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughny. Seluruhnya menunjukkan bahwa beliau sama dengan para Imam Ahlus Sunnah yang lainnya dalam masalah kepemimpinan dalam jihad.
Dan andaikata
penisbatan penulis terhadap ucapan Ibnu Qudamah itu benar, maka tentunya
kesepakatan para ulama tentang wajibnya sebuah jihad dipimpin oleh
seorang penguasa adalah sebuah keyakinan yang telah tetap dalam syari’at
Islam ini. Wallahu A’lam.
5. Target Jihad Imam Samudra
Penulis berkata, “Jelaslah bahwa peperangan dilakukan sampai tercapai dua keadaan:
- Tidak ada lagi kemungkaran di muka bumi ini.
- Sehingga dienullah (Islam) mengatasi, mengungguli dien-dien lain. Dalam istilah lain: terlaksana hukum Islam secara sempurna.” [18]
Tanggapan
Dua hal yang disebut oleh penulis memang termasuk dan tujuan mulia dari jihad di jalan Allah.
Tapi apakah tujuan tersebut telah tercapai dari kasus Bom Bali yang ditokohi oleh penulis dan teman-temannya?
Setiap orang
bijak dan adil dalam bersikap akan menegaskan bahwa penulis telah
meruntuhkan tujuan jihad yang mulia tersebut, bahkan yang terjadi dari
aksi-aksi penulis dan semisalnya adalah kemungkaran, kerusakan,
penghinaan dan pelecehan terhadap Islam dan kaum muslimin.
Dan kami sudah
terlalu banyak menguraikan berbagai kerusakan dan kemungkaran tersebut
dalam Bab “Dampak-dampak Negatif Terorisme”. Cukuplah pembaca yang
menilai.
[1] Aku Melawan Teroris hal. 108.
[2] Lihat Fathul Bari 6/5, Hasyiyah Ar-Raudh Al-Murbi’ 4/253 dan Nailul Authar 7/246.
[3] Dengan perantara Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah pada pembahasan جهاد.
[4] Ibid.
[5] Ar-Radd ‘Ala Al-Bakry 2/729, Maktabah Al-Ghuraba`/cet. Pertama/1417H.
[6] Aku Melawan Teroris hal. 103.
[7] Aku Melawan Teroris hal. 123-131.
[8] Baca tahapan-tahapan tersebut dalam Zadul Ma’ad karya Ibnul Qoyyim 3/70-71, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 28/349, Fatawa Al-Ulama Al-Akabir karya Syaikh Abdul Malik Ramadhoni hal. 20-23.
[9] Aku Melawan Teroris hal. 131.
[10] Aku Melawan Teroris hal. 130.
[11] Baca I’lamul Muwaqqi’in 1/36.
[12] Baca Al-Muwafaqot hal. 99-109.
[13] Baca Ash-Shorim Al-Maslul 2/413-414.
[14] Aku Melawan Teroris hal. 163.
[15] AL-Mughni 13/14, penerbit Hajar, cetakan kedua tahun 1413H/1992M.
[16] AL-Mughni 13/16, penerbit Hajar, cetakan kedua tahun 1413H/1992M.
[17] AL-Mughni 13/33-34, penerbit Hajar, cetakan kedua tahun 1413H/1992M.
[18] Aku Melawan Teroris hal. 134.
http://jihadbukankenistaan.com/bantahan-buku-aku-melawan-teroris/akar-perlawanan-yang-keliru-1-5.html#more-399
Tidak ada komentar:
Posting Komentar