Oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Al-Atsari
Siapa tak kenal Imam Samudra? Ia begitu populer karena menjadi
tersangka dalam kasus Bom Bali. Sebuah buku atas namanya meluncur.
Repotnya, buku yang sarat syubhat itu justru menggunakan berbagai
‘dalil’ yang kemudian ditafsiri seenak perut. Tujuannya tentu, mencari
pembenaran atas aksi yang mengatasnamakan Islam itu!
Allah I telah mengutus Nabi-Nya r dengan membawa misi perbaikan alam
dan menegakkan kemaslahatan hamba, seperti beliau nyatakan dalam
sabdanya:
“Sesungguhnya tak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali menjadi hak
atasnya untuk menunjukkan umatnya pada kebaikan yang diketahuinya untuk
mereka dan memperingatkan dari kejelekan yang diketahuinya untuk
mereka.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, Kitabul Imarah no. 1844)
Tak diragukan bahwa para Salaf, yakni para shahabat, tabi’in, dan
tabi’ut tabi’in adalah orang-orang terdepan dalam meraih kemaslahatan
dan menghindar dari segala kerusakan. Hal ini pulalah yang kemudian
mereka serukan sebagai suatu manhaj yang dianut. Maka, Manhaj Salaf
adalah dakwah Al-Haq, dakwah Islam, di mana Islam meliputi seluruh aspek kehidupan. Seruannya datang untuk mengeluarkan manusia dari gelapnya syirik menuju cahaya tauhid,
dari kerancuan dan bid’ah menuju kesatuan sunnah dan aqidah. Sama
sekali tidak berdiri di atas hawa nafsu dan ra‘yu (logika), akan tetapi
di atas apa yang telah Allah tetapkan. (Usus Manhaj As-Salaf fi Da’wati
Ilallah, oleh Asy-Syaikh Fawwaz As-Suhaimi t hal. 98)
Manhaj Salafush Shalih Manhaj Kebaikan dan Kebenaran
Mengikuti Manhaj Salafush Shalih dalam memahami agama adalah hal yang
sangat terpuji dan sikap yang paling benar. Bagaimana tidak, sebab
manhaj ini bertolak dari Salaful Ummah (umat terdahulu) dari kalangan
shahabat dan tabi’in yang telah mendapatkan jaminan kebaikan dan
kebenaran. Karena itu, siapapun yang berjalan di atas manhaj ini dan
mengikutinya dengan baik, tentu akan mendapatkan jaminan berharga. Allah
I berfirman:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di
antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada
Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata, “Allah I mengabarkan tentang
keridhaan-Nya terhadap orang-orang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan
Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Juga (Allah
mengabarkan) keridhaan mereka terhadap (Allah) atas apa yang Allah
janjikan untuk mereka berupa jannah yang dipenuhi kenikmatan-kenikmatan
yang abadi.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, 2/404)
Para pembaca, ketika berbicara manhaj Salafus Shalih maka sejatinya kita
berbicara tentang gambaran Islam yang murni dan bersih, yang Nabi r dan
para shahabatnya berada di atasnya. Maka ketika menyerukan manhaj
Salaf, berarti kita menyerukan untuk berpegang teguh dengan manhaj Islam
yang lurus yang mereka (para pendahulu) telah menempuhnya, bukan ajakan
untuk taqlid terhadap pribadi tertentu sebab tidak ada yang patut
diikuti (secara mutlak) kecuali Rasulullah r.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata, “Tidak ada cela bagi siapa yang
menampakkan manhaj Salaf dan menisbatkan diri kepadanya, bahkan wajib
hal itu diterima secara sepakat karena sesungguhnya manhaj Salaf tidak
ada di dalamnya kecuali kebenaran.” (Majmu’ul Fatawa, 4/149 diambil dari
Irsyadul Bariyyah hal. 20 dan 24)
Asy-Syaikh Shalih bin Sa’d As-Suhaimi t mengatakan, “Dari sinilah,
komitmen yang paling pantas dan abadi hanyalah kepada manhaj Islam
dengan apa yang telah Allah syariatkan untuk kita… Komitmen bukanlah
terhadap pribadi-pribadi tertentu, lembaga-lembaga, ataupun
jamaah-jamaah yang selalu (merupakan) tempatnya salah dan benar.”
(Manhaj As-Salaf fil ‘Aqidah hal. 45)
Oleh karena itu manhaj Salafus shalih bukanlah manhaj yang beragam warna
sehingga bisa berubah-ubah manakala salah satunya dibutuhkan. Misalnya
dalam masalah fiqh dan tauhid mengikuti para ulama yang menempuh manhaj
Salaf, dalam hal politik mengikuti tokoh-tokoh politik dengan alasan
mereka lebih paham perpolitikan, dalam bidang jihad bersama dengan
tokoh-tokoh yang diistilahkan dengan “ulama mujahid”, meski tokoh-tokoh
tersebut tidak menempuh manhaj Salafus Shalih.
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani t menyatakan, “Seorang muslim yang
bertumpu pada Al-Kitab dan As-Sunnah tidak akan dapat berwarna-warni
secara mutlak. Adapun muslim yang bertumpu pada jamaah atau kelompok
hizbiyyah –meski (menamakan dirinya) Islam– akan memaksanya sehingga ia
harus banyak warna dengan dalih bahwa itu adalah ijtihad dan perubahan.”
(Fatawa fi Al-Jama’at wal-Ahzab Al-Islamiyyah hal. 25)
Aliran-aliran Sesat Mengklaim sebagai Ahlus Sunnah
Menjadi kebiasaan ahli bid’ah dan ahli batil, ketika mereka menebar
racun kesesatannya akan menampakkan kedok kebaikan, menebeng di balik
gambaran keislaman yang benar, mengaku sebagai pengikut Sunnah
Rasulullah r dan para shahabatnya. Sejarah membuktikan, mereka acap
menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah, pengikut manhaj Salafus
Shalih, padahal sejatinya bukan.
Asy-Syaikh ‘Abbas bin Manshur As-Saksaki t berkata, “Seluruh aliran
sesat telah menamakan dirinya dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah padahal
tidak sesuai kenyataan. (Namun itu) hanya berupa kedengkian dan
kedustaan atasnya, serta penisbatan kepada yang bukan aqidahnya.”
(Al-Burhan fi Ma’rifati Aqa’idi Ahlil Adyan hal. 61)
Bagaimanapun usaha penyesatan yang dilakukan ahlil bid’ah sejak dulu
meski bersembunyi di balik nama yang mulia, hakekat mereka tetap nampak.
Sifat yang kentara dalam diri mereka adalah menolak untuk menempuh
jalan kaum Salaf. Sementara Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah para pengikut
manhaj Salafus Shalih dalam hal aqidah, ucapan, ataupun amalan.
Al-Imam Ahmad t mengatakan, “Pokok-pokok As-Sunnah bagi kami adalah
berpegang teguh dengan apa yang ada di atas para shahabat Nabi r serta
mencontoh mereka.” (Ushul As-Sunnah hal. 35)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menerangkan tentang jalan yang ditempuh
Ahlus Sunnah. Beliau berkata, “Jalan yang ditempuh Ahlus Sunnah adalah
mengikuti atsar-atsar Rasulullah r lahir dan batin, mengikuti jalan
orang-orang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta mengikuti
wasiat Nabi r yang telah bersabda: ‘Hendaklah kalian berpegang teguh
dengan Sunnahku dan Sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk
setelahku. Peganglah ia dan gigitlah dengan gigi geraham…’.”
(Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah dengan syarahnya hal. 179-180, cetakan Darul
Fikr)
Bantahan terhadap Buku Aku Melawan Teroris
Nebeng-menebeng adalah gaya yang disukai banyak orang. Pasalnya, di
samping mudah, juga praktis dan gratis. Namun hal itu sangat berbahaya
manakala ahli bid’ah dan ahli batil yang memperagakannya. Tentu,
mengakibatkan banyak umat akan tertipu. Di kala manhaj Salafus Shalih
mulai kembali dikenal umat dengan karunia Allah lalu dengan keutamaan
para ulama Ahlus Sunnah yang senantiasa menyerukan untuk kembali kepada
dakwah Islam yang haq, maka untuk menjauhkan umat dari As-Sunnah dan
para ulamanya dan menyebarkan kerancuan di tengah-tengah mereka, tak
sedikit dari para ahli bid’ah yang sembunyi di balik manhaj yang benar,
manhaj Salafus Shalih.
Sebut saja Imam Samudra, salah seorang pelaku peledakan bom jahat Bali
yang mengguncang Indonesia di antara rentetan peristiwa bom-bom lainnya
di tanah air. Dengan ulahnya itu isu terorisme pun kian santer. Lewat
buku yang ditulisnya yang berjudul Aku Melawan Teroris1, dia mengaku
berpola keislaman menurut manhaj Salafus Shalih, dan bahwa tindakannya
pun atas dukungan para ulama yang bermanhaj Salafus Shalih.
Inilah terutama yang menjadi sorotan saya terhadap isi buku tersebut, di
samping tindakan-tindakannya yang dia nisbatkan pada para Salafus
Shalih. Tentunya ini semua sebagai upaya nasehat bagi yang bersangkutan
dan Al-Bayan (penjelasan) kepada umat bahwa cara yang ditempuhnya jauh
dari manhaj Salafus Shalih dan tidak pula berjalan di atas fatwa para
ulama yang menempuh manhaj Salaf. Wallahul musta’an.
‘ Imam Samudra menyebutkan sejumlah tokoh-tokoh yang menurutnya
menempuh manhaj Salaf seperti Salman bin Fahd Al-‘Audah, Dr. Safar
Al-Hawali, Dr. Aiman Azh-Zhawahiri, Sulaiman Abu Ghaits, Dr. Abdullah
Azzam, Usamah bin Ladin, serta Maulani Mullah Umar. Kemudian mereka dia
istilahkan dengan ulama mujahid. (Aku Melawan Teroris, hal. 64)
Bantahan
Tokoh-tokoh yang disebutkan Imam Samudra di atas tidaklah berjalan di
atas manhaj Salaf. Bahkan perjalanan hidup mereka dipenuhi catatan hitam
yang menunjukkan mereka jauh dari manhaj Salaf. Asy-Syaikh Ibnu Baz,
dan Asy-Syaikh Al-Albani serta Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh
Muqbil rahimahumullah, Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhali, serta para ulama
yang berjalan di atas manhaj Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jama’ah
–dan dia (Imam Samudra) sendiri juga menyatakan demikian– banyak
menjelaskan tentang kesesatan tokoh-tokoh tersebut dan jauhnya dari
manhaj Salaf. Lalu bagaimana dia gabungkan tokoh-tokoh itu dengan para
ulama bermanhaj Salaf?
Tak ada hubungan antara tokoh-tokoh itu dengan para ulama Ahlus Sunnah.
Bahkan semua orang tahu bahwa antara mereka berbeda dalam hal manhaj
(metodologi). Tokoh-tokoh itu berideologikan Quthbiyyah, Sururiyyah,
Ikhwaniyyah, dan Kharijiyyah. Hal itu terbukti dengan sejumlah
aksi-aksi dan tulisan-tulisan tokoh-tokoh tersebut yang dipenuhi dengan
penyimpangan dan pemikiran yang menyesatkan. Cukuplah bantahan
Asy-Syaikh Rabi’, Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Muqbil dan yang
lainnya menjadi saksi. Bahkan ketika beliau (Asy-Syaikh Muqbil) ditanya
tentang Usamah bin Ladin, jawabnya, “Aku berlepas diri dari Usamah bin
Ladin, dia adalah kejelekan dan bala’ atas umat, tindakan-tindakannya
pun jelek.”
Asy-Syaikh Ibnu Baz memperingatkan dari bahaya mereka, “Tidak boleh
seorang pun untuk bekerja sama dengannya dalam kejelekan dan hendaknya
mereka meninggalkan kebatilan ini.” (Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah fi
Al-Qadhaya Al-Ashriyyah hal. 191-201)
‘ Imam Samudra mengatakan, “Dengan demikian jelaslah bahwa (warga)
“sipil” bangsa-bangsa penjajah yang pada asalnya tidak boleh diperangi,
berubah menjadi boleh diperangi karena adanya tindakan melampaui batas
yaitu pembantaian atas warga sipil yang dilakukan oleh bangsa penjajah.
Dengan demikian, tercapailah keseimbangan hukum dalam perlawanan dan
demikian jihad bom Bali tidak dilakukan secara asal-asalan dan
serampangan.” (Aku Melawan Teroris hal. 116). Di halaman 135 sampai 145,
dia berbicara tentang Islam dan keadilannya meski dalam kondisi perang,
hingga berakhir pada kesimpulan bolehnya membunuh warga sipil, rakyat
biasa yang non-muslim di mana saja dengan dalil orang-orang kafir pun
telah membantai warga sipil rakyat biasa kaum muslimin.
Bantahan
Entah keadilan dan keseimbangan hukum mana yang dia anut. Kalaulah warga
sipil dari negara penjajah itu berada di medan pertempuran dengan kaum
muslimin dan mereka terlibat dalam penyerangan terhadap kaum muslimin,
maka dapat dibenarkan memerangi mereka. Tetapi apa yang terjadi dengan
bom Bali? Tak ada seorang pun yang mengatakan bahwa di Bali sedang
berkecamuk perang antara muslimin dan kafirin. Lagi pula, tak sedikit
dari kaum muslimin yang menjadi korban bom jahat itu. Adapun ayat yang
dijadikannya sebagai dalil:
“Barangsiapa yang menyerang kamu maka seranglah ia, sebanding dengan serangannya terhadapmu.” (Al-Baqarah: 194)
Dan ayat:
“Dan jika kamu memberikan balasan maka balaslah dengan balasan yang
sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (An-Nahl: 126)
Ayat-ayat ini sesungguhnya justru menjadi hujjah atasnya. Al-Imam Ibnu
Katsir t berkata, “Ayat yang mulia ini, ada kemiripan dengan ayat-ayat
lain dalam Al-Qur’an. Ayat ini meliputi disyariatkannya adil dan anjuran
kepada sesuatu yang utama.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, 2/617)
Warga sipil yang muslim ataupun non muslim tak seorang pun di antara
mereka yang melakukan penyerangan dan terlibat perang, maka pembunuhan
yang dilakukan terhadap mereka berarti menggugurkan salah satu pokok
dari pokok-pokok Islam. Allah I berfirman:
“Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam
lembaran-lembaran Musa dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu
menyempurnakan janji? (Yaitu) bahwa seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh
selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm: 36-39)
Rasulullah r bersabda:
“Barangsiapa membunuh mu’ahad (orang kafir yang terikat perjanjian)
tidak pada waktu/ tempatnya maka Allah mengharamkan surga untuknya.”
(Hadits shahih dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 2760,
An-Nasai dalam Sunan-nya no. 4761 dari shahabat Abu Bakrah z)
Allah I berfirman:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Baqarah: 190)
Al-Imam Ibnu Katsir t berkata, “Yakni perangilah mereka (orang-orang
kafir) di jalan Allah dan jangan melampaui batas dalam hal itu. Termasuk
melakukan hal-hal yang dilarang seperti kata Al-Hasan Al-Bashri t:
Mencacah mayat orang kafir, mengambil harta rampasan perang tanpa
sepengetahuan pemimpin jihad, membunuh wanita dan anak-anak serta orang
tua (jompo) yang tidak memberikan bantuan pemikiran kepada mereka
(pasukan kafir) dan tidak pula ikut perang bersamanya, membunuh pendeta
dan biarawan, membakar pepohonan, dan membunuh hewan tanpa ada
kemaslahatan. Hal serupa dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, ‘Umar ibnu Abdil
‘Aziz, Muqatil bin Hayyan, dan selainnya.” (Kemudian) Ibnu Katsir
mengutip beberapa hadits yang berkaitan dengan hal ini. (Lihat Tafsir
Al-Qur’anil Azhim, 1/253)
Jika Rasulullah r mengecualikan beberapa kalangan orang kafir untuk
tidak diperangi dalam kondisi perang –yakni terhadap mereka yang tidak
terlibat penyerangan– lalu bagaimana kiranya dengan orang kafir yang
tidak berada dalam peperangan dan tidak terlibat penyerangan seperti di
Bali, Jakarta, dan tempat-tempat lainnya? Jika dikatakan, “Bukankah
kedatangan mereka (orang kafir) ke suatu tempat membawa kerusakan atau
bahkan misi tertentu?” (seperti yang dikatakan Samudra di hal. 149-150,
155-158). Jawabannya: hal itu bukanlah dalil bolehnya membunuh mereka.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t berkata, “Tindakan menyakiti tidak boleh
dilakukan pada siapapun baik itu kepada para turis ataupun pekerja
(asing) karena mereka orang-orang yang masuk (ke suatu negara) dalam
keadaan aman. Tetapi sampaikanlah nasehat kepada pihak negara agar
mencegah mereka dari hal-hal yang tidak layak untuk ditampakkan. Adapun
secara individu maka tidak boleh membunuh mereka atau melukainya, namun
hendaknya diangkat perkaranya ke hadapan wulatul umur (pemerintah).”
(Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah hal. 113)
Beliau juga berkata, “Tidak boleh membunuh orang kafir yang mendapat
jaminan keamanan yang telah diizinkan masuk oleh negara dalam keadaan
aman. Tidak boleh pula membunuh orang-orang yang bermaksiat, tidak pula
melukai mereka.” (Fatawa Al-’Ulama Al-Akabir fima Uhdhira min Dimaa fi
Al-Jazaair hal. 75)
Di dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Ummu Hani binti Abi Thalib
mendatangi Nabi r pada hari Fathu Makkah. Ia mengadukan bahwa ‘Ali bin
Abi Thalib akan membunuh orang (musyrik) yang meminta perlindungan
kepadanya. Maka Nabi r menjawab, “Kami telah memberikan perlindungan
kepada orang yang meminta perlindungan kepadamu, hai Ummu Hani.” (Hadits
dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya nomor 357 dari Ummu Hani
binti Abi Thalib x)
‘ Pada halaman 163, dia mengatakan:
“Jihad akan terus berlangsung hingga hari kiamat. Ketiadaan khilafah
atau daulah Islamiyyah saat ini tidak menghalangi terselenggaranya
jihad, seharusnya ketiadaan khalifah atau amir (pemimpin) Islam tidak
pula menghalangi jihad, juga tidak menyebabkan jihad berhenti atau
tertunda.” Kemudian di halaman 170 katanya, “Jadi bom Bali adalah
DEFOFFENSE JIHAD.”
Bantahan
Di halaman sebelumnya (hal. 159), dia menuturkan bahwa faham jihad yang
dianutnya adalah dari para ulama yang bermanhaj Salafus Shalih. Sungguh
ucapannya ini adalah kebohongan dan pengkhianatan yang besar terhadap
para ulama. Jika yang dimaksud dengan para ulama itu adalah Usamah bin
Ladin, Abdullah Azzam, atau Salman Al-‘Audah dan semua yang setipe
dengannya, maka sudah saya katakan bahwa mereka tidak bermanhaj Salaf,
bahkan berjalan di atas jalan yang bid’ah. Tunjukkan bukti kebenaranmu
jika kamu adalah orang yang benar!
Ucapanmu, (Jihad akan berlangsung sampai hari kiamat), apa sebetulnya
yang kau maksud dari kutipan kata-kata ini? Kalau kamu menganggap bahwa
ini adalah ucapan ulama maka salah besar, dan menunjukkan bahwa kamu
sebenarnya tidak berjalan di atas manhaj Salaf. Lalu di atas manhaj apa?
Akan datang jawabannya! Sementara yang disebutkan para ulama yang
bermanhaj Salaf di dalam kitab-kitab aqidah adalah seperti perkataan
Al-Imam Ath-Thahawi t:
“Haji dan jihad keduanya akan tetap berlangsung bersama waliyyul amri
(pemerintah) dari kaum muslimin, yang baik dan yang jahat, hingga hari
kiamat. Tak ada sesuatu yang dapat membatalkannya, tidak pula
menggugurkannya.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 387)
Al-Imam Al-Bukhari t membuat bab dalam Shahih-nya: “Bab Jihad tetap
berlangsung bersama (pemimpin) yang baik dan yang jahat.” (Shahih
Al-Bukhari dengan Al-Fath, 6/70)
Rasulullah r bersabda:
“Sesungguhnya imam (pemimpin) itu adalah pelindung/ perisai, yang
(musuh) akan diperangi dari belakangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 2957 dan
Muslim no. 1841 dari shahabat Abu Hurairah z)
Dan kalau yang kamu maksudkan dari kutipan itu adalah hadits, maka lebih
salah lagi. Karena tak ada satu pun lafadz hadits yang seperti itu,
yang ada adalah:
“Jihad akan tetap berlangsung sejak Allah mengutusku hingga akhir
generasi umat ini memerangi/ membunuh Dajjal.” Hadits ini dikeluarkan
oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 2532, di dalam sanadnya ada seorang
rawi yang bernama Yazid ibnu Abi Nusybah, keadaannya majhul (tidak
diketahui) seperti kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t dalam
Taqribut Tahdzib (hal. 535). Karena itu beliau berkata dalam Fathul Bari
(6/70): “Dalam sanadnya ada kelemahan.”
Saya tidak mengingkari fardhiyyatul jihad (kewajiban jihad, red), namun
tentu jihad harus dilakukan di atas ilmu, memenuhi syarat-syaratnya,
senantiasa bersama waliyyul amri atau amir. Dan ini yang menjadi
konsensus ulama Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jihad tidak
boleh dilakukan dengan serampangan dan semangat konyol yang pada
akhirnya mati dalam keadaan tolol!
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan ketika beliau ditanya, “Akhir-akhir ini ada
orang yang beranggapan bahwa jihad wajib dilakukan tanpa harus ada
imam.” Maka beliau menjawab, “Ini pemikiran Khawarij, adapun Ahlus
Sunnah mengatakan, ‘Harus ada imam (pemimpin).’ Ini adalah manhaj kaum
muslimin dari sejak jaman Nabi r. Yang beranggapan/ berfatwa tidak perlu
dengan imam berarti mengikuti hawa nafsu. Inilah ideologi Khawarij.”
(Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah hal. 151)
Inilah jawaban yang saya maksudkan dari pertanyaan di atas. Jadi, bom
jahat Bali sama sekali bukan jihad, baik offensif atau defensif apalagi
defoffensif.
‘ Imam Samudra menganggap bahwa tolok ukur orang-orang yang
mendapat hidayah adalah jihad dan keterlibatannya di medan jihad.
Kemudian mengistilahkan mereka dengan ulama ahluts tsughur (orang-orang
yang berjaga di perbatasan negeri muslim dengan negeri kafir untuk
menjaga dari serangan musuh, red). (Aku Melawan Teroris hal. 70 dan 172)
Bantahan
Mengklaim orang-orang yang berjihad dan terlibat di medan jihad sebagai
orang yang pasti mendapat petunjuk secara umum, ini adalah vonis gegabah
dan tanpa ilmu. Sebab, kenyataannya didapati orang-orang yang berjihad
namun tidak di jalan Allah. Tak sedikit pula orang-orang yang menyerukan
jihad dan terlibat dalam peperangan ternyata aqidahnya rusak dan
keyakinannya menyimpang. Mungkinkah mereka di atas hidayah?
Fenomena yang seperti ini jauh mula telah diberitakan oleh Rasulullah r,
di mana ada yang berperang karena dorongan nasionalisme atau sekedar
ingin dibilang pemberani atau juga demi meraih kedudukan. Ketika hal itu
ditanyakan kepada Rasulullah, “Manakah yang di jalan Allah?” Beliau
menjawab, “Siapa yang berperang demi meninggikan kalimat Allah, dialah
yang di jalan Allah.”
Rasulullah r juga pernah bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya akan pasti datang suatu
zaman menghampiri manusia, di mana orang yang berperang tidak tahu untuk
apa ia berperang dan orang yang terbunuh tidak tahu atas dasar apa ia
terbunuh.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya no. 2908)
Adapun ayat yang dia jadikan dalil:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya
Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-’Ankabut:
69)
Lagi-lagi ayat ini justru menjadi hujjah atasnya. Al-Imam Ibnu Katsir t
berkata: “Yakni (mereka adalah) Rasulullah r dan para shahabatnya serta
orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat.” (Tafsir Al-Qur’anul
Azhim, 3/440)
Jadi, siapa yang berjihad dan berada di front-front jihad tidak otomatis
sebagai orang-orang yang mendapat hidayah. Tetapi siapa saja yang
berjihad sesuai dengan petunjuk Rasulullah r dan para shahabatnya,
berpijak di atas As-Sunnah dan kesatuan aqidah yang benar, mereka itulah
yang akan mendapatkan janji Allah yang ada pada ayat tersebut.
Berkenaan dengan atsar yang disebutkan dari Sufyan ibnu ‘Uyainah: “Jika
kalian menyaksikan manusia telah berselisih, maka ikutilah (pendapat)
mujahidin dan ahluts tsughur.” (Aku Melawan Teroris hal. 69)
Maka jawabannya, atsar ini lengkapnya adalah bahwa Sufyan ibnu ‘Uyainah
berkata kepada Ibnul Mubarak, “Kalau engkau melihat manusia telah
berselisih hendaklah engkau bersama mujahidin dan ahluts tsughur karena
sesungguhnya Allah telah berfirman: “Benar-benar akan Kami tunjukkan
kepada mereka (jalan-jalan mereka).” (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an,
13/365)
Seandainya dia menjelaskan tafsiran ayat itu (Al-Ankabut: 69) dengan
lengkap, tentulah akan dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan
mujahidin dan ahluts tsughur dalam atsar di atas –jika atsarnya shahih–
tidak terkhususkan bagi setiap yang berada di medan jihad dan di
kamp-kamp pertahanan saja. Apalagi jika yang berada di sana adalah
orang-orang yang menyimpang aqidahnya, misal Al-Quburiyyun2, fanatik
madzhab, dan berbagai macam bid’ah seperti yang nampak di Afghanistan.
(Lihat Syarh Al-Farqu baina An-Nashihati wat Ta’yiiri oleh Asy-Syaikh
Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, www.sahab.net). Atau juga melakukan
tindakan-tindakan bid’ah dalam memerangi musuh, seperti bom bunuh diri
yang marak di Palestina dan lain-lain. Sementara, Al-Imam Ibnu Hazm
mengatakan: “Islam tidak akan menang dengan perantara (tangan-tangan)
ahli bid’ah.” (Diambil dari Muqaddimah Asy-Syaikh Muqbil dalam kitab
Al-Mawahib fi Raddi ‘ala man Za’ama bi Islami Abi Thalib).
Ibnu ‘Abbas dan Ibrahim bin Adham berkata tentang ayat itu: “Yakni
terhadap orang-orang yang beramal dengan apa yang telah mereka ketahui
ilmunya.” Beliau (Ibnu ‘Abbas) berkata lagi: “(Maknanya) yaitu
orang-orang yang berjihad dalam ketaatan terhadap Kami, tentu Kami akan
menunjukkan jalan pahala Kami. Dan keumuman taat ini meliputi seluruh
perkataan.”
Abu Sulaiman Ad-Darani t berkata: “Jihad yang terdapat dalam ayat
tersebut bukan semata-mata membunuh orang kafir saja, akan tetapi
(jihad) dalam arti membela agama, membantah orang-orang yang membawa
kebatilan, melenyapkan orang-orang yang zalim. Dan yang besarnya adalah
amar ma’ruf nahi munkar, serta yang termasuk bagian jihad adalah
mujahadah nufus dalam menaati Allah I.” (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil
Qur’an, 13/364-365)
Dengan demikian yang disebut mujahid dan ulama mujahid bukan hanya
orang-orang yang terlibat peperangan3, apalagi yang berperang atau jihad
dengan cara yang tidak syar’i. Tetapi mujahid atau ulama mujahid adalah
orang-orang yang berperang di jalan Allah I sesuai dengan apa yang
telah disyariatkan Allah dan Rasul-Nya, memerangi orang-orang kafir
dengan tujuan meninggikan kalimat Allah I demi meraih keridhaan Allah I.
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata tentang ayat (Al-Ankabut: 69): “Yakni
orang-orang yang memerangi kuffar demi meraih keridhaan Kami (Allah).”
(Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 13/364)
Mujahid atau ulama mujahid adalah mereka yang membela agama Allah I
dengan hujjah dan burhan (keterangan), membantah orang-orang yang
menyimpangkan dari agama Allah I. Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah t berkata: “Orang yang membantah ahli bid’ah adalah mujahid.”
(Majmu’ul Fatawa, 4/13, diambil dari Usus Manhaj Salaf fi Da’wati
ilallah hal. 151)
Al-Imam Ibnul Qayyim t mengatakan bahwa jihad (yang dilakukan) dengan
pedang dan tombak, dan jihad dengan hujjah dan burhan (penjelasan)
ibaratnya dua saudara kandung. (Diambil dari Usus Manhaj Salaf fi
Da’wati ilallah hal. 151)
Dunia dewasa ini sudah sangat akrab dengan kata-kata jihad, tetapi yang
disesalkan telah terjadi pergeseran dari makna yang sebenarnya kepada
makna yang salah. Hampir semua aksi mengatasnamakan jihad mulai dari
demonstrasi, perusakan sejumlah tempat, hingga peristiwa bom jahat Bali
pun atas nama jihad dan pembelaan Islam. Tak dipungkiri bahwa dalam
peristiwa itu berjatuhan korban dari orang-orang kafir, namun membunuh
jiwa yang terpelihara dalam syariat Islam adalah haram. Jiwa-jiwa yang
saya maksudkan adalah jiwa seorang muslim, orang kafir yang terikat
perjanjian, orang kafir yang mendapat jaminan perlindungan, dan orang
kafir yang mendapat jaminan keamanan. Siapa yang melanggarnya maka
Rasulullah r mengancam, “Tidak akan mencium baunya surga.” (Potongan
dari hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash c dalam Shahih Al-Bukhari no.
3166)
‘ Imam Samudra menganggap aksi bom Bali sebagai amalan
istisyhadiyyah (memburu/ mencari syahid) serupa dengan peristiwa ledakan
gedung WTC. Dia berdalil dengan kisah seorang ghulam (anak) yang mati
di tangan raja kafir dan kisah beberapa shahabat yang menerobos pasukan
kafir. Bahkan dia menganggap aksinya itu sebagai tindakan jihad
offensive atau defoffensive. (Aku Melawan Teroris hal. 171-189)
Bantahan
Teramat banyak nash yang berisikan perintah jihad dan keutamaannya,
karena jihad fi sabilillah berkaitan dengan maslahat diniyyah dan
duniawiyyah. Jihad menjadikan kalimat Allah senantiasa tegak dan din-Nya
tersebar di seluruh penjuru bumi, mencegah siapa yang bermaksud jahat
terhadap din-Nya dan pemeluknya. Karena itu, jihad haruslah dilakukan
dengan ilmu, sesuai dengan petunjuk Rasulullah r. Adapun orang bodoh,
maka tidak layak untuk berbicara tentang perkara sebesar ini. Akibat
berangkat dari kebodohan, banyak orang yang melakukan tindakan-tindakan
tolol karena dorongan balas dendam semata terhadap musuh tanpa
mengindahkan apakah caranya tersebut halal ataupun haram.
Pada dasarnya amalan istisyhadiyyah adalah hal yang baik dan merupakan
jihad fi sabilillah. Namun hal itu bila dilakukan pada saat dan tempat
yang tepat, yakni di saat dua pasukan (Islam dan kafir) telah bertemu
dan berada di barisan peperangan. Sedang yang terjadi di Bali, tak ada
barisan perang di sana, tidak pula sedang berkecamuk perang. Maka sangat
keliru bila dia mengatakan bahwa aksi itu adalah amalan istisyhadiyyah.
Asy-Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi t ketika ditanya tentang operasi
istisyhadiyyah yang marak akhir-akhir ini, beliau menjawab, “Yang nampak
dari dalil-dalil, jelas hal itu tidak disyariatkan, tidak termasuk
bentuk penyerangan antara dua pasukan dalam pertempuran. Kami katakan
demikian karena:
1. Operasi yang disebut istisyhadiyyah dilakukan bukan lagi dalam
barisan peperangan, akan tetapi di luar peperangan. (Yaitu dengan)
mendatangi tempat-tempat di mana orang-orang dalam keadaan lalai (tidak
dalam barisan perang) kemudian dirinya meledakkan (bom) di tengah-tengah
mereka. Sementara nash-nash yang ada menerangkan dalam barisan perang,
kaum muslimin di satu barisan dan orang-orang kafir berada di barisan
lain, mereka berperang. Kemudian seorang mukmin melemparkan dirinya/
menerobos ke tengah-tengah barisan kuffar.
2. Sesungguhnya yang berjibaku (in-ghimas) ke tengah-tengah pasukan
kuffar, dia tidak membunuh dirinya sendiri dan terkadang selamat.
Berbeda dengan orang yang sengaja meledakkan diri (dengan bom).
3. Dalam Shahih Al-Bukhari, saat perang Khaibar ada salah seorang
shahabat bernama ‘Amir bin Al-Akwa, ketika akan menyerang seorang
Yahudi, tiba-tiba ujung pedangnya meleset hingga melukai kakinya
kemudian meninggal dunia. Tatkala menyaksikan peristiwa itu, para
shahabat banyak membicarakan bahwa ‘Amir bin Al-Akwa telah menggugurkan
jihadnya bersama Rasulullah (yakni dianggap telah membunuh dirinya).
Lalu Nabi r menemui saudaranya bernama Salamah bin Al Akwa, beliau
mendapatinya dalam keadaan sedih. Salamah bin Al-Akwa pun berkata, “Ya
Rasulullah, mereka mengatakan bahwa ‘Amir telah menggugurkan jihadnya.”
Rasulullah menjawab, “Telah berdusta siapa yang telah mengatakan begitu.
Ia berjihad, ia seorang mujahid, amat sedikit seorang bangsa Arab yang
tumbuh sepertinya.”
Kejadian yang menimpa ‘Amir bin Al-Akwa adalah kejadian yang di luar
kehendaknya dan tanpa kesengajaannya, sehingga Rasulullah menegaskan,
“Telah dusta orang yang menganggap ‘Amir telah menggugurkan jihad.”
Namun, kejadian itu membuat riskan para shahabat, lalu mengira bahwa
‘Amir menggugurkan jihadnya (membunuh dirinya), dalam kondisi ‘Amir
dalam barisan perang dan tidak membunuh dirinya, tidak pula dirinya
meledakkan (bom). Lalu bagaimana kiranya dengan seorang yang tidak
berada di barisan perang kemudian dirinya meledakkan (bom) di
tengah-tengah orang yang sedang tenang?” (Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah hal.
174-176)
Dari sini kiranya para pembaca dapat memahami bahwa bom Bali dan bom-bom
lainnya lebih tepat dikatakan aksi bom bunuh diri (dan bunuh diri itu
haram).
Imam Samudra ataupun Usamah bin Ladin tidak punya dalil sedikit pun
untuk membenarkan aksi-aksi jahatnya. Kisah-kisah jibaku, menerobos
pasukan kuffar seperti yang dikutipnya di halaman 175-176 bukanlah dalil
yang membenarkan tindakannya. Dia hanya menganalogikan dua hal yang
berbeda. Para shahabat yang dikisahkan berjibaku ke tengah-tengah
pasukan kafir hanya dilakukan dalam kancah barisan peperangan, antara
barisan muslimin dan barisan kafirin. Adapun yang dilakukannya di Bali,
jelas tak ada di depannya barisan pasukan kuffar. Para shahabat yang
berjibaku tidak membunuh diri mereka, tidak memasang sesuatu di
tubuhnya, tidak melukai dirinya, sedangkan dia (Imam Samudra) dan
orang-orang yang melakukan tindakan yang sama sepertinya, mereka
menghancurkan dan melukai diri mereka dengan memasang bom di tubuh,
dengan bom mobil, atau cara lainnya.
Dalil analoginya sangat lemah. Amat baik kalau orang macam dia banyak
belajar. Dia hanya menganalogikan dua hal yang berbeda alias qiyas ma’al
fariq. Sementara para ulama ushul mengatakan la qiyas ma’al fariq
(tidak ada qiyas jika terdapat perbedaan).
Kaitannya dengan kisah ghulam4 (pemuda) mukmin yang dia jadikan juga
sebagai dalil atas tindakannya dan atas aksi bom WTC seperti dikutip di
halaman 179-181 dan 186-187 di mana sang raja yang musyrik dan kafir
bermaksud untuk membunuhnya, dilakukanlah upaya-upaya untuk dapat
mengeksekusinya di antaranya dengan melemparkan sang ghulam mukmin ini
dari puncak gunung, kemudian melemparkannya ke tengah-tengah lautan,
namun semua upaya untuk mengeksekusinya itu gagal. Allah tetap
menyelamatkan sang ghulam hingga pada suatu hari berkatalah ia kepada
raja kafir itu, “Engkau tidak akan dapat membunuhku kecuali dengan
mengikuti perintahku. Kumpulkan semua manusia di tengah lapangan yang
luas, kemudian ambillah satu anak panah dari sarung panahku, letakkan
pada busur panah, lalu ucapkanlah bismillahi rabbil ghulam.” Si raja pun
mematuhi instruksi ghulam, kemudian panah itu diluncurkan dan mengenai
pelipisnya sang ghulam hingga ia pun mati. Masyarakat yang menyaksikan
kejadian itu serentak mengucapkan, “Kami beriman kepada Rabb ghulam.”
(Saat itu semua masyarakat tidak lagi mengatakan bismil malik (atas/
dengan nama raja)).
Kisah ghulam mukmin ini dimuat dalam Shahih Muslim (no. 3005) dari
shahabat Shuhaib Ar-Rumi, dimuat juga dalam Musnad Ahmad, dan yang
lainnya. Lihat Tafsir Al-Qur‘anul Azhim (4/521).
Berdalil dengan kisah ini juga tak jauh beda dengan sebelumnya alias
qiyas ma’al fariq (menganalogikan dua hal yang berbeda). Bagaimana itu?
Daripada umat dibikin pusing dengan igauannya yang luar biasa ngaco,
lebih baik saya suguhkan penuturan para ulama bermanhaj Salafus Shalih
tentang hal ini. Simaklah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t, beliau
berkata, “Peristiwa ghulam ini membuahkan manfaat yang besar untuk
Islam. Dan sesungguhnya perkara yang diketahui oleh umum (banyak orang)
bahwa yang menyebabkan ghulam terbunuh adalah ghulam itu sendiri, tidak
diragukan! Tetapi dengan kebinasaannya membuahkan manfaat besar di mana
umat beriman seluruhnya. Maka jika membuahkan manfaat yang seperti ini
bolehlah bagi seseorang membela agamanya dengan dirinya. Adapun sekedar
membunuh sepuluh orang atau dua puluh orang tanpa ada faedah dan tanpa
ada perubahan sedikitpun, maka perlu untuk dicermati kembali. Bahkan hal
itu adalah haram, bisa jadi orang-orang Yahudi akan melakukan
pembalasan hingga membunuh seratus orang (dari kaum muslimin, pent.).”
(Diambil dari Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah hal. 171)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata, “Adapun apa yang dilakukan sebagian
orang, dengan membawa alat peledak (bom) lalu mendatangi orang-orang
kafir kemudian meledakkannya di tengah-tengah mereka, maka aksi ini
adalah bagian dari aksi bunuh diri, wal ‘iyadzubillah.” (Syarh Riyadhush
Shalihin, 1/130)
Jadi, jelas beda apa yang dilakukan Imam Samudra di Bali dan
komplotannya di Amerika atau di belahan bumi lainnya dengan apa yang
dilakukan sang ghulam mukmin. Kalau dia katakan bahwa setelah peristiwa
hancurnya WTC, banyak orang mengucapkan dua kalimat syahadat seperti di
halaman 186-187, maka saya katakan, “Dusta! Jangan menutup mata
mentang-mentang kamu dipenjara sekarang! Katakan berapa orang yang
beriman karena peristiwa itu di Amerika? Jangankan semua, seperempatnya
pun tidak ada. Bahkan semua telunjuk-telunjuk manusia mengarah kepada
Islam bahwa Islamlah biang kerusakan, terorisme, yang menambah
orang-orang kafir semakin yakin dalam kekafirannya.” Tak ada bedanya bom
jahat yang terjadi di Bali dan tempat-tempat lainnya, apa yang dia
lakukan adalah kerusakan di atas kerusakan.
‘ Imam Samudra mencela para ulama yang menempuh manhaj Salaf,
seperti perkataan, “Mereka tidak ngerti trik-trik politik.” (hal. 92).
“Fatwa yang keluar dari mereka akibat tekanan Amerika.” (hal. 184).
“Mereka ulama munafiq.” (hal. 186).
Bantahan
Allah I berfirman:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri (ulama) di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan,
kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa: 83)
Imam Samudra alias Abdul ‘Aziz alias Qudama –dan entah apa lagi namanya–
beserta para tokoh panutannya seperti Usamah bin Ladin, Abdullah Azzam,
dan lain-lain, bukan ahlinya untuk berbicara masalah yang besar ini
(jihad). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata, “Pada umumnya,
membahas perkara-perkara yang mendetail ini (jihad) adalah tugas ahlul
ilmi.” (Diambil dari Fatawa Al-’Ulama Al-Akabir hal. 25)
Bila yang berbicara dan mengendalikan urusan besar ini dan urusan-urusan
lainnya adalah mereka, maka tunggulah saatnya kehancuran. Rasulullah r
bersabda:
“Manusia akan senantiasa dalam keadaan baik dan penuh komitmen selama
ilmu yang datang/sampai kepada mereka dari para shahabat Muhammad dan
dari orang-orang besarnya (para ulamanya), namun jika (ilmu) yang sampai
pada mereka dari orang-orang kecilnya (orang-orang jahil) niscaya
mereka binasa.” (HR. Ath-Thabrani, 9/8589 dari shahabat Abdullah bin
Mas’ud z, diambil dari Fatawa Al-’Ulama Al-Akabir, hal. 33-34)
Imam Samudra kehabisan cara bagaimana kiranya dapat mengangkat
tokoh-tokoh panutannya itu. Bidang aqidah mereka bukan ahlinya, fiqh
juga demikian, hadits apa lagi. Akhirnya Samudra menggelari mereka
dengan ulama mujahid, ahlits tsughur. Tapi bagaimana orang yang tidak
punya ilmu digelari mujahid atau bahkan ahlits tsughur? Inna lillahi wa
inna ilaihi raji’un.
Imam Samudra mencela para ulama yang menempuh manhaj Salaf di saat
mereka tidak mencocoki hawa nafsunya. Ketika para ulama menyatakan
haramnya operasi bom seperti yang dia lakukan di Bali, dia dengan
pongahnya mengatakan, “Fatwa para ulama itu akibat tekanan dari
Amerika.” Ketika para ulama mengutuk peristiwa WTC dengan angkuhnya dia
mengatakan, “Para ulama itu munafiq.” Lalu bagaimana dia katakan dirinya
mengikuti manhaj Salafus Shalih sedangkan dia mencela ulama-ulama yang
menempuh manhaj Salaf?! Bagaimana kiranya pembaca menyikapi dan
menghukumi orang yang prototipenya model begini?
Simaklah perkataan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Beliau
berkata, “Tak seorang pun yang melanggar kehormatan para ulama yang
istiqamah di atas jalan yang haq, melainkan satu di antara tiga keadaan:
boleh jadi dia seorang munafik yang telah diketahui kemunafikannya,
atau ia seorang yang fasiq membenci para ulama karena mereka (ulama)
telah mencegahnya dari kefasiqan/ tindakan fasiq, atau juga dia seorang
hizbi, sesat, membenci ulama karena para ulama tidak mencocoki
hizbiyyahnya dan pemikiran-pemikirannya yang menyimpang.” (Al-Ajwibah
Al-Mufidah hal. 51)
Daging ulama itu beracun, hai Samudra!
(Dan mencela ulama Ahlus Sunnah itu adalah tanda ahli bid’ah, lalu bagaimana kamu mengaku sebagai Ahlus Sunnah?? -ed)
‘ Imam Samudra menganggap ada kelompok “Salafy irja’i / Murji’ah” di
Indonesia, yang mengklaim bahwa tindakan yang dilakukannya bid’ah/
haram. (Aku Melawan Teroris, hal. 171-172)
Bantahan
Siapa yang kau maksud dengan “Salafy irja’i”? Kalau yang kamu maksudkan
adalah mereka yang mengaku-ngaku Salafy yang makmur dengan dukungan
finansial dari lembaga-lembaga hizbiyyah bid’iyyah macam Al-Shofwa
Jakarta atau Ihya’ At-Turats Kuwait dan yang lainnya (seperti yang kamu
sebutkan) maka kamu telah salah. Saya beritahu bahwa mereka itu bukan
Salafy. Mereka adalah hizbiyyun Sururiyyun, kepanjangan dari Quthbiyyah
Ikhwaniyyah.
Tapi bila yang kau maksudkan adalah mereka yang tengah berusaha menempuh
manhaj Salafus Shalih dengan senantiasa mengikuti para ulama yang
bermanhaj Salaf, maka gelarmu kepada mereka adalah malapetaka bagimu.
Dan semakin membuka kedokmu di atas manhaj apa sebetulnya kamu berjalan.
Gelar yang kamu sebutkan “Salafy irja’i/Murji’ah” sebetulnya bukan hal
yang baru jika ditujukan kepada Salafiyyun yang senantiasa menempuh
manhaj Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena ciri ahlil bid’ah
sejak dulu adalah melemparkan gelar-gelar yang jelek terhadap Ahlus
Sunnah. Saya yakin, dirimu tidak paham Salafy, tidak pula paham hakikat
Murji’ah sehingga kamu gabungkan antara Salafy dengan Murji’ah.
Sejenak bila menoleh sejarah, sebenarnya telah ada orang yang menuduh
Salafy dengan tuduhan murji‘ah seperti yang telah saya singgung di atas.
Akhirnya diketahui bahwa yang menuduhnya adalah bermanhaj khariji
(Khawarij). Simaklah kisahnya.
Suatu ketika Abdullah ibnul Mubarak mendatangi kota Ar-Ray (sebuah kota
yang letaknya di jantung negeri Khurasan, pent.). Tiba-tiba datanglah
seorang laki-laki menghampirinya lalu berkata, “Hai Abu Abdirrahman
(ibnul Mubarak), apa pendapatmu tentang orang yang berzina, mencuri, dan
minum khamr?” Beliau menjawab, “Aku tidak menganggapnya telah keluar
dari keimanan.” Demi mendengar jawaban itu, spontan laki-laki itu
berkata, “Hai Abu Abdirrahman, di masa tuamu engkau telah menjadi
Murji’ah?!” Beliau menjawab, “Jangan engkau gelari aku dengan murji`ah,
sesungguhnya orang-orang Murji’ah itu mengatakan: Kebaikan kita pasti
diterima, dan kejelekan kita pasti diampuni (karena menganggap tak ada
bedanya antara kebaikan dan kejelekan dan tidak ada pengaruh bagi si
pelakunya, pent.). Seandainya aku tahu kebaikan yang kulakukan pasti
diterima tentulah aku mengklaim sebagai penghuni surga.” (Belakangan)
laki-laki itu diketahui bermadzhab Khawarij. (Atsar ini dikeluarkan oleh
Al-Imam Abu ‘Utsman Ash-Shabuni dalam Aqidatus Salaf wa Ashhabul Hadits
hal. 119-120, cetakan Darul Asinah)
Nah, sekarang saya tidak akan katakan kamu Salafy Khariji sebab ini
berarti mencampuradukkan yang haq dengan yang batil. Tetapi saya katakan
kalau kamu adalah Khariji (bermanhaj Khawarij)!
‘ Imam Samudra mengkafirkan pemerintahan Indonesia, dianggapnya
hukum di Indonesia tidak jauh beda dengan hukum Ilyasiq5 yang berlaku di
zaman Jenghis-Khan, maka hukum Indonesia adalah hukum kafir new
Ilyasiq. (Aku Melawan Teroris hal. 200-201)
Bantahan
Perkara yang tidak diperdebatkan antara para ulama baik yang terdahulu,
kemudian, maupun sekarang, bahwa siapa yang berhukum dengan selain hukum
yang diturunkan Allah I berupa hukum-hukum buatan manusia, hukum-hukum
jahiliyyah dan mengingkari berhukum dengan syariat Allah I, atau
menganggap hukum Allah I tidak cocok untuk diterapkan di masa sekarang,
atau hukum Allah I dengan hukum selainnya sama, maka dia telah keluar
dari Islam alias kafir. Inilah yang menjadi kesepakatan para ulama yang
menempuh manhaj Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah. Seperti halnya
mereka juga telah bersepakat tentang tidak kafirnya orang yang berhukum
dengan selain hukum yang diturunkan Allah I dengan tidak disertai
pengingkaran (terhadap hukum Allah I).
Bahkan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah seperti Al-Imam Abu Bakr
Al-Ajurri, Ibnu Abdil Barr, Al-Qadhi Abu Ya’la, dan ulama yang lainnya
seperti Al-Jashshash mengatakan bahwa pendapat yang mengkafirkan seluruh
orang yang berhukum dengan selain hukum Allah I tanpa memperinci apakah
dengan pengingkarannya (terhadap hukum Allah) atau tidak, adalah
pendapat (pernyataan) Khawarij. (Lihat Fiqhu As-Siyaasah Asy-Syar’iyyah
hal. 86-87)
Sekali lagi manhaj Khawarij inilah yang sebenarnya ditempuh oleh Imam
Samudra. Dari pernyataannya, dia mengkafirkan setiap negara
(pemerintahan) yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak
tanpa memperinci. Agaknya lebih sempurna kalau saya nukilkan
ucapan-ucapan para ulama yang bermanhaj Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal
Jamaah dalam hal ini. ‘Ali ibnu Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu
‘Abbas tentang tafsir firman Allah I:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)
Kata beliau, “Yakni siapa yang mengingkari (hukum) yang telah Allah I
turunkan maka ia telah kafir. Dan siapa yang mengakuinya namun tidak
berhukum dengannya maka ia zalim dan fasiq.” (Dikeluarkan oleh Ibnu
Jarir dalam Tafsir-nya, 10/357, Tafsir Al-Qur’anul Azhim, 2/66)
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata tentang ayat ini, “Yakni dengan penuh
keyakinan dan menganggap halal (berhukum dengan selain hukum Allah I).
Adapun yang melakukan hal itu (berhukum dengan selain hukum Allah I)
namun dia meyakini bahwa dirinya telah melakukan sesuatu yang haram,
maka dia tergolong orang-orang fasiq dari kaum muslimin. Urusannya
diserahkan kepada Allah I, jika (Allah) berkehendak akan mengadzabnya
dan jika berkehendak akan mengampuninya.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an,
6/190)
Masih banyak lagi para ulama lainnya yang mengatakan seperti pernyataan
di atas, di antara mereka Al-Imam Al-Baidhawi dalam Tafsir-nya jilid
1/208, Al-Imam Ath-Thahawi lihat Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah (hal.
323-324), Ibnul Jauzi dalam Zadul Masir (3/366), Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah dalam Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, Al-Imam Asy-Syinqithi
dalam Adhwa-ul Bayan (2/104), Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di,
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Al-Albani, dan lain-lain.
(Lihat Fiqhu Siyasah Asy-Syar’iyyah hal. 87-92)
Terakhir, Al Hafizh Ibnu Katsir t berkata tentang ayat:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44),
“Yakni karena mereka mengingkari hukum Allah I dengan sengaja dan membangkang darinya.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, 2/67)
Dan inilah makna pernyataan beliau yang mengkafirkan hukum Ilyasiq di
zaman Jenghis-Khan sebagaimana yang dikutip oleh Imam Samudra di halaman
200. Yakni karena mereka mengutamakan dan lebih mengedepankan hukumnya
daripada hukum Allah I. (Lihat Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, 2/73)
Para pembaca, demikianlah upaya penjelasan ini ditempuh sebagai suatu
bentuk tanggung jawab kepada umat, ketika kedustaan itu mengatasnamakan
Islam, saat kesesatan dan kejahatan itu berlindung di balik nama dakwah
Islam yang haq, manhaj Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Pengakuan semata tanpa ada dalil, kemudian bertolak belakang dengan
kenyataan, tidaklah berarti apa-apa dan tidak bermanfaat sedikitpun.
Sekiranya pengakuan saja dapat bermanfaat tentulah pengakuan orang-orang
Yahudi dan Nashrani akan bermanfaat dan benar tatkala mereka mengklaim
bahwa al-jannah (surga) itu khusus untuk mereka. Seperti firman Allah I:
“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan
masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”.
Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah:
“Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”.
(Al-Baqarah: 111)
Wal ‘ilmu ‘indallah.
1 Buku itu lebih pas kalau diberi judul Aku adalah Teroris, tentu
saja dengan poster sang jagoan yang tengah mengacungkan jari
telunjuknya. Sebab tindakan-tindakan dan pemikirannya jauh dari syariat
Islam. Asy-Syaikh Ibnu Baz tmengatakan, “Orang-orang yang membunuh dan
melukai manusia dengan cara yang tidak syar’i, mereka adalah irhabiyyun
(teroris). Mereka adalah para perusak, mereka adalah orang-orang yang
membuat kacau keamanan manusia dan menciptakan problem dengan
negaranya.” (Diambil dari Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah hal. 112-113)
2 Yaitu orang-orang yang meyakini bahwa kuburan atau penghuni kubur
dapat memberi manfaat atau menolak madharat sehingga tempat kembali dan
bergantung mereka adalah kuburan. Quburiyyun adalah bagian dari firqah
Shufiyyah.
3 Hal ini didukung oleh hadits Nabi r yang artinya: “Seorang mujahid
adalah orang yang bersungguh-sungguh melawan dirinya dalam ketaatan
kepada Allah I.” (HR. Ahmad dari shahabat Fadhalah bin ‘Ubaid
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no.549)
4 Lihat kisah ini selengkapnya pada Majalah Asy-Syariah Vol. 1/No.11, Rubrik Permata Hati hal. 66-68.
5 Yakni kompilasi (rangkuman) hukum dari berbagai macam ideologi/ agama dari Yahudi, Nasrani, dan juga Islam. (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir, 2/73)
http://asysyariah.com/aku-melawan-teroris-sebuah-kedustaan-atas-nama-ulama-ahlussunnah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar