Oleh : Ust. Dzulqarnain Makassar
Bismillaahir Rohmaanir Rohiim
Enam : Berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah.
Sudah merupakan tabiat dari kehidupan bahwa manusia sangatlah butuh
kepada suatu aturan dalam kehidupan mereka agar terbentuk kehidupan yang
seimbang dan sejahtera, tanpa ada kekurangan dan kejelekan yang
membahayakan mereka. Maka dari hikmah dan rahmat Allah Jalla wa ‘Alaa,
diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab suci guna mewujudkan
kemashlahatan untuk manusia pada perkara dunia maupun akhirat mereka.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Sesungguhnya Kami
telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata
dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadîd : 25)
Dan Allah Ta’ala berfirman,
“Manusia itu adalah
umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para
nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah
menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di
antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. Al-Baqarah : 213)
Dan -Al-Hamdulillah- seluruh syari’at Allah Jalla Sya`nuhu penuh dengan keadilan,
“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an)
sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah
kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS. Al-An’am : 115)
Masalah apapun yang terjadi, pasti dalam syari’at Allah ada penyelesaiannya, besar maupun kecil masalah tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih
baik akibatnya.” (QS. An-Nisa‘ : 59)
Dan berpaling dari hukum tersebut adalah sebab terjadinya fitnah dan musibah, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa suatu fitnah atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur : 63)
Tujuh : Menyebarkan ilmu syar’iy di tengah umat.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah,
“Tidaklah alam iini rusak kecuali karena kejahilan, dan tidak ada
kemakmuran baginya kecuali dengan ilmu (syari’at). Kapan ilmu itu nampak
pada suatu negeri atau suatu tempat maka akan sedikit kejelekan pada
para penghuninya, dan kapan ilmu itu tersembunyi padanya, maka akan
nampak kejelekan dan kerusakan. Siapa yang tidak mengetahui hal ini,
maka ia tergolong orang-orang yang Allah tidak memberikan cahaya
kepadanya. Berkata Imam Ahmad, “Andaikata bukan karena ilmu, sungguh
manusia seperti hewan-hewan ternak.” Dan beliau juga berkata, “Manusia
lebih butuh kepada ilmu ketimbang makan dan minum. Karena makan dan
minum dalam sehari hanya dibutuhkan dua atau tiga kali, sedangkan ilmu
dibutuhkan pada setiap saat.”.” [1]
Delapan : Menimbang vonis kafir, fasik dan bid’ah dengan ketentuan-ketentuan syari’at.
Menjatuhkan vonis kafir, fasik, bid’ah dan selainnya dari
istilah-istilah syar’iy adalah suatu hal yang sangat riskan dan besar
tanggung jawabnya di hadapan Allah Ta’ala. Karena itu Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengingatkan,
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ
“Siapa saja yang
berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir”, maka kalimat ini harus
disandang oleh salah seorang dari keduanya. Kalau memang seperti yang
dia katakan, (maka tidak mengapa), dan kalau tidak, maka kalimat itu
akan kembali kepadanya.” [2]
Selain dari itu, dibelakang vonis kafir, fasik dan seterusnya akan ada
sejumlah hukum yang dibangun di atasnya, berupa membunuh orang-orang
yang murtad, memerangi orang-orang kafir, memberi ta’zîr (hukuman
pelajaran) kepada orang-orang fasik dan pelaku bid’ah dan sebagainya
dari masalah-masalah detail yang hanya dipahami hakikatnya dan akan
diletakkan pada tempatnya oleh para ulama.
Dan sebagaimana yang telah dipaparkan bahwa salah satu sebab munculnya
ideologi terorisme yang mengatasnamakan agama adalah dibangun di atas
vonis-vonis tersebut, maka merupakan suatu hal yang sangat penting untuk
mendudukkan makna dan hakikat dari istilah-istilah syar’iy tersebut.
Berikut ini beberapa hal yang mungkin bisa menjadi solusi masalah ini,
- Meluruskan makna istilah-istilah syar’iy di atas.
- Menerangkan tentang bahaya ekstrim dalam beragama dan bahaya menjatuhkan tuduhan kepada seorang muslim tanpa ilmu.
- Menerangkan fatwa-fatwa para ulama berkaitan dengan masalah ini.
- Mengumpalkan dasar-dasar ideologi yang menyimpang dalam hal ini kemudian membantahnya dengan argument dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.
- Menerangkan tokoh-tokoh yang menyandang dan menyebarkan pemikiran ini di tengah umat.
Sembilan : Meluruskan makna jihad yang hakiki dan pembagian orang-orang kafir menurut kaidah-kaidah Islam.
Meluruskan pemahaman dalam dua masalah ini termasuk solusi dasar dalam menuntaskan masalah terorisme. Dan -Al-Hamdulillah-
pada bab kedua dari buku ini telah dijelaskan banyak hal yang merupakan
dasar-dasar pijakan syari’at untuk menentukan sebuah jihad yang sesuai
dengan tuntunan dan bagaimana sebenarnya pembagian orang-orang kafir
dalam timbangan syari’at. Dan ada niat -dengan idzin Allah- untuk
menyusun buku khusus merinci seluruh hukum berkaitan dengan jihad dalam
sebuah pembahasan lengkap. Semoga Allah memudahkan hal tersebut dan
senantiasa mencurahkan ‘inayah dan taufik-Nya. Innahu Walliyyu Dzalika Wal Qôdiru ‘Alahi.
Sepuluh : Menyingkap tabir penyimpangan dan kerusakan paham Khawarij dan yang semisal dengannya dalam garis ekstrim.
Telah dijeleskan dari bab yang telah lalu akan bahaya paham khawarij dan
potensinya dalam melahirkan aksi-aksi terorisme. Paham ekstrim ini dan
sejumlah pemahaman yang segaris dengannya sangatlah penting untuk
diterangkan kepada umat tentang dasar-dasar kesesatan pemikiran mereka
dan bahayanya.
[1] I’lamul Muwaqqi’în 2/257.
[2] Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary no. 6104 dan Muslim no. 60. Dan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary no. 6103.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar