Oleh: Ust. Sofyan Chalid
بسم الله الرحمن الرحيم

وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيل تَفَرَّقَتْ
عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّة , وَتَفْتَرِق أُمَّتِي عَلَى ثَلَاث
وَسَبْعِينَ مِلَّة , كُلّهمْ فِي النَّار إِلَّا مِلَّة وَاحِدَة ,
قَالُوا : مَنْ هِيَ يَا رَسُول اللَّه ؟ قَالَ : مَا أَنَا عَلَيْهِ
وَأَصْحَابِي
“Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah
menjadi 72 golongan, dan ummatku akan berpecah menjadi 73 golongan,
semuanya di neraka kecuali satu”. Para sahabat bertanya, “Siapakah
mereka wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Yang mengikuti aku dan para sahabatku”.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2641, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah, no.171 pada tahqiq kedua)
Lalu apakah kita diam saja membiarkan
saudara-saudara kita berpecah belah dalam agama dan memunculkan
ajaran-ajaran sesat? Atau membiarkan saudara-saudara kita kaum muslimin
disesatkan oleh kelompok-kelompok yang menyimpang?
Tentunya, kewajiban setiap muslim untuk
menjaga agama ini dari berbagai penyimpangan sesuai kemampuannya.
Sebagaimana kewajiban setiap muslim untuk menyelamatkan
saudara-saudaranya kaum muslimin dari kelompok-kelompok sesat yang akan
mengajak mereka ke pintu-pintu neraka.
Jika demikian, memperingatkan bahaya
kelompok sesat adalah bukti sejati kecintaan seorang muslim kepada
saudara-saudaranya kaum muslimin. Inilah yang dipahami para ulama Ahlus
Sunnah wal Jama’ah sebagaimana dalam atsar berikut:
Abu Shalih Al-Farra’ -rahimahullah- berkata, “Aku menceritakan kepada Yusuf bin Asbath tentang Waki’ bahwasanya beliau terpengaruh sedikit dengan perkara fitnah (Khawarij) ini”. Maka dia ( Yusuf bin Asbath) berkata, “Dia serupa dengan gurunya –yaitu Al-Hasan bin Shalih bin Hay-” . Aku pun berkata kepada Yusuf,
“Apakah kamu tidak takut perkataanmu ini merupakan ghibah?” Beliau
menjawab, “Kenapa begitu wahai orang dungu, justru saya lebih baik bagi
mereka dibanding ibu dan bapak mereka sendiri; saya melarang manusia
dari mengamalkan kebid’ahan mereka, karena bisa mengakibatkan semakin
banyaknya dosa-dosa para pengajak kepada bid’ah tersebut. Adapun yang
memuji mereka, justru lebih membahayakan mereka.” [Lihat At-Tahdzib (2/249 no. 516), sebagaimana dalam Lamud Durril Mantsur Minal Qoulil Ma’tsur, karya Abu Abdillah Jamal bin Furaihan al-Haritsiy. Muraja’ah: As-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah-, (hal. 27)]
Demikianlah, para ulama tidak sama
sekali menganggap pembicaraan tentang kesesatan si fulan atau suatu
kelompok sebagai perbuatan ghibah yang haram. Maka sangat mengherankan
jika ada seorang muslim, apalagi mengaku Ahlus Sunnah, pengikut sunnah
Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- kemudian marah jika
ada saudaranya yang memberi peringatan akan bahayanya berbagai kelompok
sesat yang muncul akhir-akhir ini. Bahkan tidak jarang disertai dengan tashnif yang batil dan tuduhan keji kepada saudaranya sebagai kelompok “Ahlut Tahdzir wat Tabdi’”, “Mencari-cari kesalahan orang”, “Memusuhi dan mencaci sesama muslim”, “Suka membid’ahkan”, “Sedikit-sedikit bid’ah, sedikit-sedikit sesat”, “Mengkafirkan
umat Islam selain mereka”, “Hanya mengambil sikap keras Salaf dan
melupakan kelemahlembutan mereka”, “Tidak tahu fiqhud dakwah” dan berbagai macam tuduhan dusta lainnya.
Padahal, menjaga agama ini dari berbagai
penyimpangan dan kesesatan adalah sifat orang-orang yang Allah Ta’ala
anugerahkan ilmu kepada mereka. Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda:
يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين
“Yang membawa ilmu agama ini pada setiap
jaman adalah orang-orang terbaiknya, mereka menolak penyimpangan
orang-orang yang berlebihan dalam agama, (membantah) para penghapus
(agama) dan (meluruskan) tafsiran orang-orang jahil.” [HR. Al-Baihaqi dari Ibrahim bin AbdirRahman Al-‘Adzri -radhiyallahu’anhu-, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah, (no. 248)]
Perbedaan Nasihat dan Cacian
Wahai saudaraku, pahamilah bahwa sungguh
beda antara nasihat dengan cacian; nasihat ingin menyelamatkan Anda dan
kaum muslimin dari kesesatan, sedang orientasinya adalah akhirat.
Adapun cacian, tujuannya sekedar merendahkan dan menghinakan Anda,
sedang orientasinya adalah dunia. Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- menegaskan:
« الدِّينُ النَّصِيحَةُ » قُلْنَا لِمَنْ قَالَ « لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ »
“Agama (Islam) ini adalah nasihat.”
Kami bertanya: “Untuk siapa wahai Rasulullah?” Kata beliau: “Untuk
Allah, Kitab-Nya dan Rasul-Nya, serta untuk para pemimpin kaum muslimin
dan seluruh kaum muslimin.” [HR. Muslim (no. 194) dari Abu Ruqoyyah Tamim bin Aus Ad-Dari -radhiyallahu anhu-]
Al-Imam Abu Sulayman Al-Khatthabi-rahimahullah- menerangkan, “Nasihat adalah mengerahkan segala kemampuan demi (kebaikan) orang yang dinasihati.” [Lihat Syarah Muslim, karya Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- (2/226)]
Oleh karena itu, nasihat adalah sebaik-baiknya pengamalan hadits Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam-:
« لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ »
“Tidaklah sempurna iman seorang
diantara kalian, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia
cintai untuk dirinya (berupa kebaikan)”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik -radhiyallahu’anhu-)
Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambaly -rahimahullah- telah mengarang sebuah risalah yang beliau beri judul Al-Farqu bayna an-Nashihah wat-Ta’yir (beda nasihat dan hinaan). Diantara yang beliau jelaskan, “Memang
antara nasihat dan hinaan terdapat kesamaan, yaitu penyebutan tentang
seseorang yang tidak ia sukai, sehingga menjadi samar perbedaan antara
keduanya pada kebanyakan manusia dan Allah-lah yang memberikan hidayah
kepada kebenaran.
Ketahuilah bahwa penyebutan tentang
seseorang yang tidak ia sukai (ghibah) adalah haram, jika dimaksudkan
sekedar untuk menghinakan, menyebarkan aib dan kekurangan. Adapun jika
perbuatan tersebut terdapat kemaslahatan bagi kaum muslimin secara umum,
khususnya lagi bagi sebagian mereka, sedang maksud dari perbuatan
tersebut demi mencapai maslahat, maka tidaklah diharamkan, bahkan
disukai melakukannya.”
Beliau -rahimahullah- juga menerangkan,
“Maka membantah ucapan-ucapan yang lemah dan menerangkan al-haq ketika
ucapan-ucapan tersebut menyelisihi dalil-dalil syar’i, tidaklah termasuk
perkara yang dibenci oleh para ulama, bahkan mereka (para ulama)
mencintai dan memuji orang yang melakukannya serta menyanjungnya”.
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambaly -rahimahullah- juga menegaskan, “Oleh
karena itu, tidaklah nasihat seperti ini termasuk dalam bab ghibah
secara keseluruhan, walaupun diduga bahwa seseorang akan membenci
apabila kesalahannya yang menyelisihi al-haq ditampakkan, sehingga
kebenciannya pada hal ini tidaklah dianggap. Karena kebencian akan
ditampakkannya kebenaran, hanya karena menyelisihi pendapat orang
tersebut bukanlah termasuk perangai yang terpuji, bahkan wajib bagi
setiap muslim untuk mencintai ditampakkannya kebenaran, sehingga kaum
muslimin mengetahuinya, sama saja apakah kebenaran itu selaras dengan
pendapatnya ataukah berlawanan.” (Lihat Al-Farqu baina An-Nashihah wat Ta’yir , karya Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambaly –rahimahullah-, softcopy dari www.sahab.net )
Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid –rahimahullah- berkata, “Orang-orang yang bersilat lidah demi mengingkari naqd
(bantahan) terhadap kebatilan –walaupun sebagian di antara mereka
nampak keshalihan-, tapi semua ini adalah bentuk lemahnya semangat dan
kurang memahami kebenaran. Bahkan pada hakikatnya, itu adalah bentuk
larinya seseorang dari medan laga di hari peperangan; lari dari daerah
pertahanan agama Allah. Ketika itu orang yang terdiam dari ucapan
kebenaran laksana orang yang berbicara dengan kebatilan dalam dosa.
Abu Ali Ad-Daqqoq berkata:
” الساكتُ عن الحقِّ شيطانٌ أخرسُ، والمتكلمُ بالباطلِ شيطانٌ ناطقٌ “
“Orang yang diam dari kebenaran adalah setan bisu, sedang yang berucap dengan kebatilan adalah setan yang berbicara”.” [Lihat Ar-Raddu ‘alal Mukhaalif min Ushulil Islam, karya Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid –rahimahullah-, (hal. 75-76), sebagaimana dalam Madarikun Nazhor, (hal. 67)]
Beliau –rahimahullah- juga menjelaskan, “Oleh
karenanya, jika Anda melihat ada orang yang membantah orang yang
menyelisihi (kebenaran, -pent) dalam hal keganjilan fiqih, atau ucapan
bid’ah, maka bersyukurlah kepadanya atas pembelaannya, sesuai
kemampuannya. Janganlah engkau menggembosinya dengan ucapan yang hina
ini, (“Kenapa orang-orang sekuler tak dibantah?!“).
Manusia masing-masing memiliki kemampuan dan bakat, sedang membantah
kebatilan adalah wajib (bagi setiap orang,-pent), walaupun bagaimana
tingkatannya. Setiap muslim berada dalam batas pertahanan agamanya”. [Lihat Ar-Rodd ala Al-Mukholif (hal.57), dan Sittu Duror (hal.111), sebagaimana dalam Madarikun Nazhor, (hal. 68)]
Bolehkah menyebutkan nama ketika menasihati?
Sebagian orang menyalahkan nasihat yang
disertai penyebutan nama tokoh atau kelompok yang menyimpang, karena
menurut mereka hal tersebut tidak sesuai dengan bimbingan ulama. Adapun
yang benar dalam masalah ini, sebagaimana yang difatwakan para ulama
adalah boleh menyebutkan nama orang tertentu, jika memang diperlukan. Hal ini tidaklah sama sekali bertentangan dengan sifat wara’. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-‘Allamah Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan –hafizhahullah- dalam tanya jawab dengan beliau di bawah ini :
Pertanyaan: Telah tersebar sikap wara’
yang lemah di tengah-tengah para penuntut ilmu, yaitu apabila mereka
mendengar para pemberi nasihat dari kalangan penuntut ilmu atau ulama
saat memperingatkan bahaya bid’ah-bid’ah, para pelakunya serta
manhaj-manhaj mereka, dengan menyebutkan siapa sesungguhnya mereka,
membantah mereka dan terkadang menyebutkan nama-nama sebagian orang yang
menyimpang tersebut, walaupun sudah meninggal dunia, karena manusia
terfitnah dengannya, dimana sudah dimaklumi semua itu dalam rangka untuk
membela agama ini, menyingkap kerancuan dari musuh-musuh yang ada di
tengah-tengah barisan kaum muslimin, yang telah menyebabkan perpecahan
dan perselisihan di dalamnya. Mereka mengklaim bahwa hal tersebut adalah
ghibah yang diharamkan. Apa pendapat Anda tentang hal ini?
Jawab: Kaedah dalam
permasalahan ini adalah wajibnya peringatan atas kesalahan dan
penyimpangan setelah jelas permasalahannya, apabila hal itu menuntut
penyebutan nama orang-orang yang menyelisihi kebenaran, sehingga manusia
tidak tertipu dengan mereka, dan khususnya bagi orang-orang yang
mempunyai pola pikir yang menyimpang dari kebenaran, atau menyimpang
dari jalan dan manhaj yang benar, sedangkan mereka adalah orang-orang
yang dikenal di kalangan masyarakat dan masyarakat tersebut berbaik
sangka kepada mereka, maka tidak mengapa disebutkan nama-nama mereka dan
diperingatkan manusia dari manhaj mereka.
Para ulama telah membahas hal ini dalam ilmu jahr wa ta’dil,
dimana mereka menyebutkan nama-nama perawi dan celaan-celaan atas
mereka. Tentu bukan ditujukan kepada pribadi mereka, namun untuk
menasihati ummat agar tidak mengambil dari mereka apapun yang di
dalamnya terdapat kejahatan terhadap agama, atau kedustaan atas nama
Rasulullah -shallallahu’alaihi wasallam-.
Jadi, kaedah dalam permasalahan ini, pertama: Memperingatkan manusia dari kesalahan tanpa menyebut nama pelakunya, jika penyebutannya akan mengakibatkan mudharat atau manfaatnya tidak ada. Selanjutnya,
apabila suatu perkara menuntut untuk disebutkan nama pelaku kesesatan
tersebut, dalam rangka memperingatkan manusia dari manhaj-nya, maka yang
demikian ini adalah termasuk nasihat untuk Allah -‘Azza wa Jalla-, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan untuk pemimpin kaum muslimin serta kaum muslimin secara umum.
Terlebih lagi, apabila dia memiliki
peranan di tengah-tengah manusia, dan mereka berprasangka baik
kepadanya, mengkonsumsi kaset-kasetnya dan kitab-kitabnya, maka harus
dijelaskan dan diperingatkan dari bahaya orang tersebut. Karena
mendiamkannya adalah sesuatu yang membahayakan masyarakat. Jadi, harus
disingkap kedoknya, bukan sebagai cacian semata kepadanya, atau
melampiaskan dendam, namun sebagai nasihat untuk Allah ‘Azza wa Jalla, kitab-Nya, Rasul-Nya dan untuk pemimpin kaum muslimin serta kaum muslimin secara umum. [Lihat Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘anil Asilatil Manahijil Jadidah, (hal. 172)]
Oleh karena itu Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-
pernah mengeritik dengan keras dan “kasar” disertai penyebutan nama
secara terang-terangan, sebagaimana yang pernah dimuat oleh koran Ar-Riyadh (no. 12182), ketika beliau –rahimahullah- men-tahdzir bahaya Muhammad Al-Mis’ari, Sa’ad Al-Faqih dan Usamah bin Laden dengan menyebutkan nama-nama mereka dengan tegas. (Lihat Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘anil Asilatil Manahijil Jadidah, (hal. 66)]
Dan ketika beliau (Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-)
menjelaskan tentang keadaan kelompok-kelompok sesat, pun satu sama
lainnya saling menyesatkan, maka beliau menegaskan bahwa kewajiban para
ulama untuk menasihati kelompok-kelompok tersebut. Kemudian jika
ternyata mereka membangkang, maka beliau –rahimahullah- berkata, “Sesungguhnya wajib untuk men-tasyhir dan men-tahdzir
dari orang yang menyimpang tersebut, dilakukan oleh seorang yang
mengetahui hakikat (kesesatannya), sehingga manusia menjauh dari jalan
mereka, dan agar orang yang tidak mengetahui hakikat mereka tidak
kemudian bergabung bersama mereka, yang pada akhirnya merekapun
menyesatkannya dan memalingkannya dari jalan lurus yang telah Allah
perintahkan kita untuk mengikutinya.” (Lihat Fatawa al-‘Ulama al-Mu’ashirin fi Hukmit Ta’awuni ma’al Mukhalifin, hal. 8-9, softcopy dari www.sahab.net )
Peringatan Penting
Wajibnya memperingatkan umat dari bahaya
kesesatan seorang tokoh atau suatu kelompok tertentu, meskipun
terkadang harus dengan menyebutkan namanya, bukanlah berarti bahwa semua
orang boleh berbicara dalam bidang ini, walau dia bukan orang yang
mengerti hakikat dari tokoh atau kelompok tersebut. Apalagi jika tidak
dibimbing oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta arahan para ulama dan asatidzah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena yang demikian itu bisa menyebabkan
seseorang terjatuh dalam satu bentuk dosa besar, yakni berkata tentang
agama Allah tanpa ilmu!!
Lantaran itu kami tegaskan, sebagaimana
yang telah dibimbingkan oleh para ulama bahwa berbicara tentang
kesesatan seorang tokoh atau jama’ah yang menyimpang, haruslah terpenuhi
dua syarat :
Pertama: Ilmu, baik ilmu tentang keadaan orang atau jama’ah tersebut mapun ilmu tentang agama ini.
Kedua: Salaamatul qosdi, niat yang ikhlas karena Allah Tabaraka wa Ta’ala, tidak ada di balik itu suatu kepentingan dari kepentingan-kepentingan dunia ini.
Wallahu A’la wa A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar