Oleh: Ust. Sofyan Chalid
بسم الله الرحمن الرحيم

Pada artikel ini insya Allah kami akan
menyebutkan beberapa dalil dan penjelasan para ulama, bahkan kesepakatan
(ijma’) seluruh ulama tentang kewajiban pemerintah muslim untuk
memerangi teroris Khawarij. Sehingga makin jelas bagi kita, bahwa apa
yang dilakukan pemerintah RI melalui Densus 88 merupakan tindakan yang
tepat insya Allah Ta’ala.
Perintah dan Keutamaan Memerangi Khawarij
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
يأتي في آخر الزمان قوم حدثاء
الأسنان سفهاء الأحلام يقولون من خير قول البرية يمرقون من الإسلام كما
يمرق السهم من الرمية لا يجاوز إيمانهم حناجرهم فأينما لقيتموهم فاقتلوهم فإن في قتلهم أجرا لمن قتلهم يوم القيامة
“Akan datang pada akhir zaman suatu kaum
yang masih muda belia dan bodoh. Namun mereka menyampaikan perkataan
manusia terbaik (yakni Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam). Mereka
keluar dari Islam sebagaimana anak panah meleset dari sasarannya.
Keimanan mereka tidak melewati tenggorokannya. Di mana saja kalian
mendapati mereka, maka perangilah mereka, karena dalam memerangi mereka
terdapat pahala pada hari Kiamat bagi siapa saja yang memeranginya.” (HR. Bukahari dan Muslim dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu)
Pembesar ulama Syafi’iyyah, Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan hadits ini, “Perkataan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “أحداث الأسنان سفهاء الاحلام”,
“kaum yang masih muda belia dan bodoh “, maknanya adalah muda usia
mereka lagi pendek akalnya. Dan perkataan Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam, “يقولون من خير قول البرية”, “Namun mereka
menyampaikan perkataan manusia terbaik”, maknanya adalah, hanya
nampaknya saja demikian, seperti slogan mereka, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah” dan slogan-slogan semisalnya berupa ajakan kepada kitab Allah, wallahu A’lam. Perkataan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “فاذا لقيتموهم فاقتلوهم فان في قتلهم أجرا”, “di mana saja kalian mendapati mereka, maka perangilah mereka”, ini adalah penegasan wajibnya memerangi Khawarij dan bughot (pengacau), hal ini merupakan kesepakatan (ijma’) seluruh ulama.” (Syarh Muslim, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, 7/169-170)
Al-Qodhi ‘Iyadh rahimahullah
berkata, “Seluruh ulama telah ijma’, bahwa memerangi Khawarij dan ahlul
bid’ah serta pengacau yang semisal dengan mereka, ketika mereka
memberontak kepada penguasa, menyelisihi pemerintah dan mengoyak
persatuan masyarakat, maka wajib memerangi mereka setelah diberi
peringatan dan himbauan, Allah Ta’ala berfirman:
فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِى حَتَّى تَفِىءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ
“Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (Al—Hujurat: 9).” (Syarh Muslim, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, 7/170)
Seorang tabi’in yang mulia, Abu Ghalib rahimahullah
pernah menceritakan, “Ketika aku di masjid Dimasyq, didatangkan 70
kepala kaum Khawarij Haruriyah lalu dipancangkan di jalan masjid, maka
datanglah Abu Umamah radhiyallahu’anhu, beliau
melihat mereka lalu meneteskan air mata dan berkata, “Subhanallah, apa
yang telah dibuat oleh setan terhadap anak Adam”, beliau ucapkan tiga
kali. Lalu beliau berkata, “Mereka adalah anjing-anjing jahannam, anjing-anjing jahannam. Seburuk-buruknya makhluq yang terbunuh di bawah kolong langit”, juga diucapkan tiga kali. Lalu beliau berkata, “Dan
siapa yang dibunuh oleh mereka adalah sebaik-baik yang terbunuh di
bawah langit, beruntunglah orang yang membunuh mereka atau dibunuh
mereka.”
Lalu beliau melihat ke arahku dan
berkata, “Wahai Abu Ghalib, bukankah engkau berasal dari negeri mereka
(Harurah)?”, aku katakan, “Ya”. Beliau berkata, “Semoga Allah
melindungimu dari mereka”. Lalu beliau berkata, “Apakah engkau membaca
surat Ali Imran?”, aku katakan, “Ya”. Beliau lalu membaca ayat:
هُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ
الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ
مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ
مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ وَمَا
يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْم
“Dialah yang menurunkan Al-Kitab
(Al-Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat,
itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat
yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui
ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya
itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 7)
Mereka itulah yang di dalam hatinya ada kesesatan, mereka pun terjerumus dalam penyimpangan.
Juga firman Allah:
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ
وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ
أَكْفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ
تَكْفُرُونَ
“Pada hari yang di waktu itu ada muka
yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun
orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa
kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan
kekafiranmu itu.” (Ali Imran: 106)
Aku katakan, “Wahai Abu Umamah,
lalu mengapa aku lihat mengalir air matamu?” Kata beliau, “Ya, karena
kasihan kepada mereka, karena sesungguhnya mereka dahulunya bagian dari
kaum muslimin”. Lalu beliau berkata, “Bani Israel terpecah menjadi 71
golongan, dan bertambah pada ummat ini satu golongan lagi (jadi 72),
semuanya di neraka kecuali golongan terbanyak (yakni sahabat)”.
Aku katakan, “Wahai Abu Umamah, apa pendapatmu atas apa yang telah mereka lakukan”. Beliau berkata, bagi mereka dosa mereka;
وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Dan kewajiban kamu sekalian adalah
semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya,
niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu
melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (An-Nuur: 54)
Ketaatan kepada pemerintah itu lebih baik dari pada memberontak dan menentang”.
Maka berkatalah seseorang kepadanya, “Wahai Abu Umamah,
apakah perkataanmu tentang Khawarij itu pendapatmu atau engkau
dengarkan dari Rasulullah shallallahu’alihi wa sallam”. Beliau berkata,
“Kalau aku mengatakan itu dari pendapatku maka betapa lancangnya aku
kalau begitu, bahkan hal itu aku dengarkan dari Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam tidak hanya sekali atau dua kali”, sampai
beliau menyeburkan tujuh kali.” (HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro, no. 16560, Ath-Thobrani dalam Al-Mujamul Kabir, no. 8035, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, no. 2654, beliau menyatakan shahih sesuai syarat Al-Imam Muslim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Inilah salah satu kisah perang terhadap
teroris Khawarij yang menumpahkan darah kaum muslimin, kemudian
diperangi oleh pemerintah muslim ketika mereka melakukan perlawanan
bersenjata.
Maka sudah sepatutnya bagi pemerintah
muslim menangkap dan memerangi orang-orang yang berpaham teroris
Khawarij demi menjaga keamanan negeri dan lebih dari itu demi menjaga
aqidah kaum muslimin jangan sampai terpengaruh paham teroris Khawarij.
Oleh karenanya, sangat tidak berlebihan
andaikan pemerintah juga menangkap orang-orang yang menyebarkan paham
teroris Khawarij, baik melaui ceramah-ceramah, buku-buku maupun internet
dan memutus semua jaringan penyebaran paham sesat mereka. Dan inilah
sebenarnya yang lebih penting dilakukan, sebab selama mereka masih bebas
menyebarkan pemahaman sesat tersebut, selama itu pula jaringan teroris
Khawarij akan semakin luas dan berkembang di Indonesia.
Demikian pula, tidaklah berlebihan jika
pemerintah menertibkan media-media, tokoh-tokoh dan ormas-ormas yang
menyuarakan pembelaan kepada tokoh-tokoh teroris Khawarij dan memprotes
pemerintah secara terang-terangan, itu semua demi menjaga persatuan dan
keamanan negara serta membentengi masyarakat dari pemahaman sesat
teroris Khawarij.
Menasihati Teroris Khawarij
Termasuk kewajiban pemerintah muslim
yang tidak kalah pentingnya, juga kewajiban para ulama dan da’i untuk
menasihati kaum muslimin yang terjebak ke dalam pemahaman teroris
Khawarij. Karena akar penyimpangan mereka sesungguhnya adalah kebodohan
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang sesuai dengan pemahaman generasi
Salaf, sehingga perlu adanya nasihat untuk menjelaskan kepada mereka
hakikat penyimpangan mereka.
Syaikhunasy Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad hafizhahullah berkata, “Diantara contoh buruknya pemahaman agama adalah apa yang terjadi pada kaum Khawarij yang memberontak kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu dan memerangi beliau.
Hal itu terjadi karena mereka memahami teks-teks syari’at ini dengan pemahaman yang salah, menyelisihi pemahaman para sahabat radhiyallahu’anhum. Oleh karena itu, ketika Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma
menasihati mereka dengan menjelaskan kepada mereka pemahaman yang benar
terhadap teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka sebagian mereka
bertaubat dan sebagian lagi tetap pada kesesatannya.
Kisah dialog Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma dengan Khawarij terdapat dalam kitab Al-Mustadrak karya Al-Imam Al-Hakim (2/150-152), dengan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Al-Imam Muslim. Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,
“Aku adalah utusan sahabat Nabi
–shallallahu’alaihi wa sallam- dari kalangan Muhajirin dan Anshor kepada
kalian untuk menyampaikan pendapat mereka, karena kepada merekalah
Al-Qur’an diturunkan. Mereka lebih mengetahui akan wahyu daripada kalian
semua dan tidak ada seorangpun dari sahabat Nabi yang bersama kalian.”
Lalu diantara orang khawarij berkata, “Jangan kalian mendebat orang Quraisy ini, karena Allah berfirman:
“Merekalah orang-orang yang pandai berdebat.” (Az-Zukhruf: 58)
Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma berkata
(menceritakan tentang kaum khawarij yang beliau lihat), “Aku tidak
pernah melihat orang yang rajin beribadah melebihi mereka, wajah-wajah
mereka kusut karena banyak shalat malam, seolah-olah tangan dan kaki
mereka menyanjung mereka.”
Sebagian mereka pun berkata, “Sungguh kita akan mengajaknya (Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma) untuk berdialog.”
Ibnu Abbas berkata,
“Ceritakanlah kepadaku apa yang kalian benci dari anak paman Rasululah
shallallahu’alaihi wa sallam dan menantunya (yakni Ali bin Abi Thalib)
serta kaum Muhajirin dan Anshar!”
Mereka berkata, “Ada tiga hal.”
Aku berkata, “Apa itu?”
Mereka menjawab, “Pertama, Ali bin Abi Thalib menjadikan manusia sebagai pemutus perkara dalam hukum Allah, padahal Allah berfirman, “Sesungguhnya hukum itu hanya milik Allah.” (Yusuf : 67)
Sedang manusia tidak berhak untuk menentukan hukum”.
Maka aku berkata, “Ini yang pertama”.
Mereka berkata, “Kedua, Ali bin Abi Thalib berperang (melawan Aisyah radhiyallahu’anha
karena kesalahpahaman dan hasutan orang ketiga, pent) tapi dia tidak
mau menawan dan tidak mengambil rampasan perang. Padahal yang diperangi
itu orang kafir, maka boleh menawan dan mengambil harta mereka. Andaikan
yang diperangi itu orang-orang mukmin, tentunya tidak halal memerangi
mereka”.
Aku berkata, “Ini yang kedua, lalu apa yang ketiga?”
Mereka berkata, “Ali bin Abi Thalib menghapus gelarnya sebagai Amirul Mukminin (pemimpin kaum mukmin), kalau begitu dia pemimpin kaum kafir.”
Aku berkata, “Apa masih ada yang lain?”
Mereka berkata, “Cukup itu saja”.
Maka aku pun berkata, “Bagaimana
pendapat kalian jika aku membacakan Al-Qur’an kepada kalian dan Sunnah
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang membantah perkataan kalian,
apakah kalian ridho?”
Mereka berkata, “Ya, kami ridho”.
Aku berkata, “Adapun ucapan kalian bahwa Ali bin Abi Thalib menjadikan
manusia sebagai pemutus perkara dalam hukum Allah, maka aku akan
membacakan kepada kalian ayat tentang bolehnya manusia memutuskan
perkara dalam hukum Allah dalam permasalahan 1/4 dirham, yakni dalam
masalah kelinci dan hewan buruan yang sejenis, Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di
antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti
dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.” (Al-Maidah: 95)
Ibnu Abbas berkata,
“Aku bersumpah dengan nama Allah, apakah hukum yang diputuskan manusia
dalam masalah kelinci dan hewan buruan sejenisnya lebih utama daripada
hukum dalam masalah pertumpahan darah dan perdamaian antara kaum
muslimin!? Ketahuilah, jika Allah berkehendak, tentulah Dia akan
memutuskan hukum sendiri dan tidak menyerahkannya kepada manusia.
Begitu juga dalam masalah suami istri, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (An-Nisa: 35)
Ibnu Abbas berkata,
“Allah telah menjadikan berhukum kepada manusia (dalam masalah ini)
sebagai sunnah yang terjaga, apakah kalian menerimanya?”
Mereka mengatakan, “Ya”.
Aku berkata lagi, “Adapun perkataan kalian bahwa Ali bin Thalib memerangi tapi tidak menawan dan tidak mengambil rampasan perang, (jawabannya) apakah kalian ingin menawan ibu kalian sendiri Aisyah radhiyallahu’anha?
Kemudian kalian menghalalkan (darah dan kehormatannya) seperti orang
lain? Jika kalian melakukannya maka kalian telah kafir, karena beliau
ibu kalian.
Dan jika kalian mengatakan dia bukan ibu kita, kalian juga kafir, karena Allah berfirman:
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi
orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah
ibu-ibu mereka.” (Al-Ahzab: 6)
Setelah penjelasan ini kalian
mengetahui, bahwa kalian berada diantara dua kesesatan, mana saja yang
kalian pilih, kalian tetap berada dalam kesesatan.” Meraka pun saling
pandang.
Aku berkata, “Apakah kalian menerima hal ini?”
Mereka berkata, “Ya”.
Mereka berkata, “Ya”.
Aku berkata, “Adapun perkataan kalian bahwa Ali bin Abi Thalib
menghapus gelarnya sebagai Amirul Mukminin, maka aku akan menyebutkan
orang yang kalian ridhoi, yaitu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
beliau pada perjanjian Hudaibiyyah menulis surat kepada Suhail bin ‘Amru dan Abu Sufyan bin Harb.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
berkata kepada Amirul Mukminin, “Tulislah wahai Ali, ini perdamaian dari
Muhammad Rasulullah”. Maka orang-orang musyrikin itu membantah, “Tidak,
demi Allah seandainya kami mengetahui kamu Rasulullah tidaklah kami
memerangimu.” Rasululullah shallallahu’alaihi wa sallam berkata, “Ya
Allah, sungguh Engkau mengetahui bahwa aku adalah utusan-Mu. Wahai Ali
tulislah, “Ini adalah perdamaian dari Muhammad bin Abdillah”.”
Maka demi Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lebih mulia daripada Ali bin Abi Thalib, akan tetapi beliau tidak keluar dari kenabian ketika menghapus gelar Rasulullah”.
Abdullah bin Abbas bekata, “Maka bertaubatlah sebanyak dua ribu orang dan sisanya dibunuh di atas kesesatan”.”
Dalam kisah ini ada dua ribu orang dari
golongan khawarij yang bertaubat dari kesesatan mereka, hal itu karena
penjelasan dan keterangan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma.
Maka di sini ada pelajaran yang sangat penting, yaitu merujuk kepada
ulama membuahkan keselamatan dari segala kejelekan dan fitnah
(kesesatan). Allah Ta’ala berfirman :
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)
(Bi Ayyi ‘Aqlin wa Dinin Yakunut Tafjiru wat Tadmiru Jihadan, softcopy dari www.sahab.net)
Wallahu A’la wa A’lam.
http://nasihatonline.wordpress.com/2010/09/23/perang-terhadap-teroris-khawarij-adalah-kewajiban-pemerintah-muslim/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar