Oleh: Syaikh Abdul Malik bin Ahmad bin Al-Mubarak Ramadhani Al-Jazairi
Bismillaahir Rohmaanir Rohiim
Sesungguhnya
jalan yang sama sekali tidak pernah diperselisihkan oleh kaum muslimin
baik di masa lampau maupun saat ini adalah jalan al-Kitab dan as-Sunnah,
jalan yang senantiasa diridhai Allah Ta’ala. Pada jalan itulah mereka
datang dan pada jalan itu pula mereka muncul. Meskipun mereka berselisih
dalam cara-cara pengambilan dalil dari kedua sumber tersebut.
Kesepakatan
mereka itu disebabkan Allah telah menjamin kelurusan bagi pengikut
al-Kitab, sebagaimana yang Dia firmankan lewat lisan bangsa Jin yang
beriman.
قَالُوا
يَاقَوْمَنَآ إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنزِلَ مِن بَعْدِ مُوسَى
مُصَدِّقًا لِّمَابَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيقٍ
مُّسْتَقِيمٍ
Hai
kaum kami, sesungguhnya kami tekah mendengarkan Kitab (al-qur’an) yang
diturunkan setelah Musa yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya lagi
memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. (Al–Ahqaf : 30)
Sebagaimana
Allah juga telah menjamin kelurusan tersebut bagi pengikut Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti pada firman-Nya kepada beliau:
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Sesungguhnya engkau (hai Muhammad) menunjukkan kepada jalan yang lurus. (As-Syuura: 52)
Akan
tetapi ada perkara yang menjadikan kelompok-kelompok Islam menyimpang
dari jalan-Nya, yaitu mereka lalai terhadap rukun ketiga yang telah
disebutkan dalam al-Kitab dan as-Sunnah bersama-sama. Rukun ketiga itu
adalah memahami al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih.
Dan surat al-Fatihah juga telah mencakup tentang tiga rukun ini dengan
penjelasan yang sangat sempurna. Firman Allah:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Telah mencakup dua rukun, yakni al-Kitab dan as-Sunnah, sebagaimana telah lewat. Sedang firman-Nya:
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَالضَّآلِّينَ
Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat atas mereka.(Al-Fatihah : 7)
Telah mencakup pemahaman Salaf terhadap jalan ini. Memang tidak seorangpun merasa ragu bahwa barangsiapa berpegang teguh dengan al-Kitab dan as-Sunnah, berarti dia telah mendapatkan petunjuk yang lurus. Akan tetapi pemahaman manusia terhadap al-Kitab dan as-Sunnah ada yang benar dan ada yang keliru. Hal itu mengharuskan adanya rukun ketiga untuk menghilangkan perselisihan yang terjadi. Rukun ketiga itu adalah mengikatkan pemahaman khalaf dengan pemahaman salaf.
Ibnul
Qayyim berkata: “Perhatikanlah rahasia mengagumkan -lewat ungkapan yang
lugas dan singkat- di balik penyebutan sebab dan akibat yang
diperuntukkan buat tiga golongan tersebut. Karena sesungguhnya nikmat
yang dianugerahkan pada mereka telah mengandung unsur nikmat hidayah
yang berupa ilmu yang bermanfaat dan amal shaleh.[1]
Beliau
berkata lagi: “Maka setiap orang yang lebih mengenal al-haq serta lebih
mengikutinya, berarti dialah yang lebih berhak mendapatkan jalan yang
lurus. Dan tidak ragu lagi bahwa sahabat-sahabat Rasulullah Radhiyallahu
‘anhum yang paling berhak dengan status ini daripada kaum Rafidhah.
Oleh karena itu Salaf menafsirkan ash-shirath al-mustaqim (jalan yang
lurus) dan orang-orang yang berjalan di atasnya dengan Abu Bakar, ‘Umar,
dan sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [2]
Dalam
perkara ini Ibnul Qayyim rahimahullah menetapkan bahwa orang yang
paling dimuliakan Allah dengan nikmat-Nya berupa ilmu dan amal adalah
sahabat-sahabat Rasulullah. Karena mereka menyaksikan turunnya wahyu,
mereka pula yang menyaksikan petunjuk/tuntunan Rasul mulia, yang dengan
petunjuk Rasululah itu mereka memahami tafsir yang selamat. Sebagaimana
yang diucapkan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu : “Barangsiapa di antara
kalian yang berkehendak mengikuti sunnah, maka ikutilah sunnah orang
yang telah mati. Karena sesungguhnya orang yang hidup tidak aman dari
fitnah (kesesatan). Mereka itulah sahabat-sahabat Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Merekalah umat mulia yang memiliki hati yang paling
baik, ilmu paling dalam, serta paling sedikit memberatkan diri. Mereka
adalah kaum yang dipilih Allah untuk menyertai Nabi-Nya dan menegakkan
din-Nya. Maka kenalilah kelebihan mereka dan ikutilah jejak mereka.
Pegang teguhlah akhlak serta din mereka semampu kalian, karena
sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus. [3]
Ibnu
Mas’ud juga berkata: “Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya.
Lalu Dia mendapati hati Muhammad yang terbaik daripada hati
hamba-hamba-Nya yang lain. Kemudian Allah melihat lagi hati
hamba-hamba-Nya setelah hati Muhammad, dan Allah mendapati hati
sahabat-sahabat Muhammad yang terbaik daripada hati hamba-hamba-Nya yang
lain. Sehingga Alah menjadikan mereka pendamping Nabi-Nya. Mereka
berperang untuk din-Nya. Maka apa yang dilihat baik oleh kaum muslimin
(yakni para sahabat), baik pula di sisi Allah. Dan apa yang dilihat
buruk oleh kaum muslimin, buruk pula di sisi Allah. [4]
Jadi
kaum muslimin yang dimaksud oleh Ibnu Mas’ud di atas adalah
sahabat-sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Ahmad
rahimahullah berkata: “Menurut pendapat kami, pokok-pokok sunnah adalah
berpegang teguh dan meneladani apa yang dijalani oleh para sahabat
Rasulullah” [5]
Dan barangsiapa memperoleh ridha Allah setelah para sahabat, maka itu karena mengikuti petunjuk mereka. Allah Ta’ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ
اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنصَارِ وَالَّذِينَ
اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
Orang-orang
terdahulu lagi pertama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin
dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah…(At-Taubah : 100)
[6]
Dan
telah terdapat pembatasan zaman salaf, yaitu orang-orang yang tidak
boleh diselisihi dengan mengada-adakan pemahaman baru yang hal itu tidak
mereka pahami. Yaitu di dalam hadits Ibnu Mas’ud, dia berkata,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ
النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ
يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ
Sebaik-baik
generasi adalah generasiku. Kemudian generasi setelah mereka, kemudian
setelah mereka lagi. Kemudian akan datang suatu kaum, kesaksian salah
seorang mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului
kesaksiannya.” (Mutafaq ‘alaihi) [7]
Selain
dalil di atas, perkara pokok ini (yaitu kewajiban mengikuti pemahaman
Salaf) mempunyai dalil-dalil lain dari al-Kitab dan as-Sunnah. Di
antaranya adalah firman Allah Ta’ala:
وَمَن
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ
غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ
وَسَآءَتْ مَصِيرًا
Barangsiapa
menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti jalan
yang bukan jalannya orang-orang mu’min, Kami biarkan ia berkuasa
terhadap kesesatan dan Kami akan masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (An-Nisa’ : 115)
Dalil
dalam ayat ini ada pada digabungkan sikap menjauhi jalan kaum mu’minin
dengan penentangan kepada Rasul, hingga akhirnya berhak memperoleh
ancaman yang dahsyat ini. Padahal hanya dengan penentangan kepada Rasul
saja telah cukup untuk memperoleh ancaman tersebut berdasarkan firman
Allah Ta’ala:
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَن سَبِيلِ اللهِ وَشَآقُّوا الرَّسُولَ
مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى لَن يَّضُرُّوا اللهَ شَيْئًا
وَسَيَحْبِطُ أَعْمَالَهُمْ
Sesungguhnya
orang-orang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah serta
menentang Rasul setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, mereka tidak
dapat memberi madharat kepada Allah sedikitpun. Dan Allah akan
menghapuskan (pahala) amal-amal mereka. (Muhammad : 32) [8]
Di
antara dalil lain adalah riwayat ‘Abdullah bin Luhai yang berkata,
bahwa Muawiyah bin Abu Sufyan berdiri di tengah-tengah kami dan berkata:
“Ketahuilah sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdiri di tengah-tengah kami dan beliau bersabda:
أَلاَ
إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى
ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ
عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ
فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
Ketahuilah
sesungguhnya orang-orang sebelum kalian, yaitu ahli kitab, telah
terpecah menjadi 72 millah ( ajaran ). Dan sesungguhnya (umat) millah
ini (Islam) akan terpecah menjadi 73, 72 di dalam neraka dan satu di
dalam surga. Dia itu adalah Jama’ah. (Hadits shahih riwayat Abu Dawud
dan lainnya)
Dalil
dalam hadits ini adalah dalam penyifatan al-firqatun najiyah (golongan
yang selamat) dengan al-jama’ah. Tidak dirangkaikannya kelompok ini
(al-jama’ah) dengan al-Kitab dan as-Sunnah –padahal kelompok ini sama
sekali tidak akan lepas dari al-Kitab dan as-Sunnah-, rahasianya adalah
tersembunyi di balik peringatan terhadap al-jama’ah yang memahami
nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah dan mengamalkannya berdasarkan kehendak
Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan di waktu itu tidak ada jama’ah (kelompok
umat Islam) kecuali sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Oleh karena itu para ulama menshahihkan –hadits-hadits sebagai
penguat– lafadz lain yang datang dalam hadits ini dari riwayat Al-Hakim
dan lainnya, yaitu sabda beliau dalam menyifati al-firqatun najiyah:
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَ أَصْحَابِي
Apa-apa yang pada hari ini aku dan sahabat-sahabatku berada di atasnya.
Di
antara dalil lain adalah riwayat Abu Dawud dan lainnya dengan sanad
yang shahih lighairihi (shahih karena dikuatkan dengan sanad yang lain),
dari Al-‘Irbadh bin Sariyah, dia berkata:
وَعَظَنَا
مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا
الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ
مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى الهُِ
وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ
يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ
تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati kami dengan nasehat yang
menyentuh, meneteslah air mata dan bergetarlah hati-hati. Maka ada
seseorang yang berkata: “Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah
nasehat perpisahan. Maka apa yang akan engkau wasiatkan pada kami?”
Beliau bersabda: “Aku wasiatkan pada kalian untuk bertakwa kepada Allah
serta mendengarkan dan mentaati (pemerintah Islam), meskipun yang
memerintah kalian seorang budak Habsyi. Dan sesungguhnya orang yang
hidup sesudahku di antara kalian akan melihat banyak perselisihan. Wajib
kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin
Mahdiyyin (para pemimpin yang menggantikan Rasulullah, yang berada di
atas jalan yang lurus, dan mendapatkan petunjuk). Berpegang teguhlah
kalian padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian. Serta
jauhilah perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru
adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.“
Dalil
dalam hadits ini ada dalam penggabungan antara sunnah nabawiyyah dengan
sunnah Khulafaur Rasyidin Mahdiyyin. Perhatikanlah bagaimana Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan kalimat beliau ini sebagai
wasiat terakhir untuk umat sesudah beliau, agar engkau mengetahui
kebenaran ucapan beliau lewat keaslian manhaj ini. Kemudian perhatikan
pula bagaimana beliau (memberikan wasiat) menghadapi perselisihan dengan
tetap beriltizam pada manhaj ini, agar engkau mengetahui bahwa
pemahaman salafus shaleh merupakan jalan keselamatan dari perpecahan.
Asy-Syathiby
rahimahullah berkata: “Rasulullah menggandengkan -sebagaimana engkau
lihat– sunnah Khulafaur Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwa
termasuk mengikuti sunnah beliau adalah dengan mengikuti sunnah mereka.
Sedangkan segala perkara yang baru menyelisihi sunnah tersebut, tidak
termasuk sunnah sama sekali. Karena sesungguhnya sunnah yang dilakukan
oleh para sahabat tidak lepas dari dua alternatif, bisa jadi mereka
hanya semata-mata mengikuti sunnah Rasulullah, atau mengikuti apa yang
mereka pahami dari sunnah beliau, baik secara global maupun terperinci,
menurut satu sisi yang tidak dipahami semisalnya oleh selain mereka,
tidak lebih dari itu.”[9]
Aku
(Syaikh Abdul Malik Ramdhany) telah menjadikan nash-nash ini sebagai
dalil terhadap perkara yang sedang aku bahas ini. Karena aku mendapati
Ibnu Abil ‘Izzi menyebutkan nash-nash tersebut ketika menjelaskan ucapan
Ath-Thahawy: “Dan kita mengikuti sunnah dan jama’ah serta menjauhi
setiap syadz (menyimpang), perselisihan, dan perpecahan.” [10]
TATHBIQ (PENGAMALAN)
Karena
pentingnya mengikatkan pemahaman al-Kitab dengan As-Sunnah dan dan
mengikatkan pemahaman al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafus
Shaleh, berikut ini aku akan memaparkan kisah tentang ujian yang dialami
oleh Imam Ahmad rahiahullah dengan tujuan menjelaskan dua maksud dalam
satu kesempatan. Al-Ajury rahimahullah berkata: [11]
“Sampai
kepadaku dari Al-Muhtadi rahimahullah, bahwa dia berkata: “Tidak ada
yang pernah mengalahkan ayahku –yaitu Al-Watsiq – (yaitu di dalam
perdebatan) kecuali seorang Syaikh yang didatangkan dari Mashishah
(beliau adalah imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah). Dia telah menetap di
penjara salama beberapa waktu. Suatu hari Ayahku ingat kepadanya dan
berkata: “Bawa Syaikh itu menghadapku!” Lalu dia didatangkan dalam
keadaan terikat. Ketika dia dihadapkkan pada ayahku, dia memberi salam,
akan tetapi Ayahku tidak membalasnya. Syaikh itu berkata pada ayahku:
“Wahai Amirul Mu’minin, engkau tidak melaksanakan adab (yang diajarkan)
Allah dan Rasul-Nya kepadaku, Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَآ أَوْ رُدُّوهَآ
Apabila
engkau diberi penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang
lebih baik daripadanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang
serupa)…” (An-Nisa’ : 86)
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan untuk membalas salam. Maka Ayahku membalas salamnya: “‘Alaikas salam.“
Kemudian ayahku berkata kepada Ibnu Abi Du’ad: “Bertanyalah padanya!“
Syaikh
itu berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, aku seorang tahanan yang terikat.
Aku shalat dalam tahanan dengan tayammum karena aku tidak mendapatkan
air, perintahkanlah agar ikatanku dilepas dan berilah aku air agar aku
dapat bersuci kemudian shalat, dan setelah itu tanyailah aku. “ Lalu
Ayahku memerintahkan untuk melepas ikatannya dan memberinya air untuk
berwudhu kemudian shalat.
Ayahku berkata kepada Ibnu Abi Du’ad: “ Bertanyalah padanya!“
Tetapi Syaikh itu berkata: “Giliranku untuk bertanya, perintahkan dia agar menjawabku.“
Ayahku berkata: “Bertanyalah!“
Maka
Syaikh itu menghadap kepada Ibnu Abi Du’ad bertanya padanya: “Kabarkan
padaku tentang perkara yang engkau dakwahkan kepada manusia. (yaitu
pendapat bid’ah bahwa Al-Qur’an adalah makhluk-Red) Apakah itu perkara
yang didakwahkan oleh Rasulullah?“
Ibnu Abi Du’ad menjawab: “Tidak“
Syaikh itu berkata lagi: “Apakah itu perkara yang didakwahkan oleh Abu Bakar?“
Dia menjawab: “Tidak“
Syaikh itu berkata lagi: “Apakah itu perkara yang didakwahkan oleh ‘Umar bin Khatthab sesudanya?
Dia menjawab: “Tidak“
Syaikh itu berkata lagi: “Apakah itu perkara yang didakwahkan oleh ‘Utsman bin ‘Affan sesudahnya?
Dia menjawab: “Tidak“
Syaikh
itu berkata lagi: “Perkara yang tidak pernah didakwahkan oleh
Rasulullah, Abu Bakar, ‘Umar, tidak pula oleh ‘Utsman maupun ‘Ali
–semoga Allah meridhai mereka– tetapi engkau menyerukannya kepada
manusia. Engkau hanya dapat mengatakan: “Mereka mengetahuinya atau
mereka bodoh tentang hal itu”. Jika engkau katakan mereka mengetahuinya,
tetapi mereka diam, berarti kitapun harus diam (dari perkara yang tidak
dibicarakan oleh salafus shaleh) sebagaimana mereka diam. Tetapi jika
engkau katakan: ”Mereka tidak mengetahuinya, tetapi aku mengetahuinya“,
sungguh betapa hinanya (engkau)! Nabi beserta Khulafaur Rasyidin –semoga
Allah Ta’ala meridhai mereka– tidak mengetahui perkara itu sedikitpun,
sedangkan engkau beserta sahabat-sahabatmu mengetahuinya!?
Al-Muhtady
berkata: “Aku melihat Ayahku beranjak berdiri dan masuk ke al-haira
(semacam taman yang digenangi air) dan meletakkan bajunya pada mulut
beliau yang sedang tertawa. Kemudian ayahku berkata: “Dia benar, kita
hanya bisa mengatakan: “Mereka (Salafus Shalih) mengetahuinya atau tidak
mengetahuinya”. Jika kita katakan: “Mereka mengetahuinya tetapi mereka
diam”, sepatutnyalah kitapun diam seperti mereka. Dan jika kita katakan:
“Mereka tidak mengetahuinya tetapi engkau mengetahuinya, betapa hinanya
(engaku)! Nabi beserta para sahabat beliau tidak mengetahuinya, tetapi
engkau dan para sahabaatmu mengetahuinya!?
Lalu Ayahku memanggil: “Wahai Ahmad!“
Akupun menjawab: “Labbaika (aku memenuhi panggilanmu).
Ayahku
berkata: “Bukan engkau yang aku maksud, melainkan Ibnu Abi Du’ad.”
Diapun lalu mendekat pada Ayahku. “ Berikan nafkah pada Syaikh ini dan
keluarkan dia dari negeri kita. (yaitu Imam Ahmad dibebaskan dari
penjara dan diberi harta oleh Khalifah-red)
Dalam
riwayat yang dibawakan oleh Adz-Dzahaby dalam kitab As-Siyar: “…dan
Ibnu Abi Du’ad jatuh (martabatnya) di hadapan ayahku, dan setelah itu
ayahku tidak pernah menguji siapapun. Al-Muhtady berkata: “Kemudian aku
rujuk (kembali) dari pendapat ini (pendapat bahwa al-qur’an adalah
mahluk). Dan aku menyangka bahwa Ayahku juga telah rujuk dari pendapat
tersebut sejak saat itu.“ [12]
Aku
(Syaikh Abdul Malik) berkata: “Al-Ajury telah meriwayatkannya dengan
sanad pada hal. 91, Ibnu Batthah juga meriwayatkan dari Al-Ajury dalam
Al-Ibanah (Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah), (no:452), dan dia juga
mengeluarkannya dari beberapa jalan lain di bawah no. tadi dan no:453.
Juga Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (4/151-152) dan
(10/75-79); Ibnul Jauzy dalam Manaqib Al-Imam Ahmad hal. 431-436, dan
Abdul Ghani Al-Maqdisy dalam Al-Mihnah hal. 169-174 dan 168-169; serta
Ibnu Qudamah dalam At-Tawwabin hal. 210-215.
Aku
(Syaikh Abdul Malik Ramdhany) katakan: “Perhatikanlah, sesungguhnya
sikap Syaikh tersebut (Imam Ahmad) dalam mengembalikan perkara yang
besar ini pada sirah/perjalanan Salafus Shaleh merupakan upaya
melenyapkan perselisihan secara langsung. Dan sesungguhnya sebab hidayah
Al-Watsiq dan Al-Muhtady telah disebutkan dalam kisah tadi. Inilah yang
menunjukkan pada kita bahwa pemahaman Salafus Shaleh adalah sumber asas
yang cermat. Maka peliharalah ia!
TANBIH (PERINGATAN)
Jika
salafus shaleh berselisih dalam satu permasalahan, maka satu-satunya
cara yang ditempuh adalah dengan menegakkan dalil dari al-Kitab dan
as-Sunnah berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَإِن
تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن
كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Kemudian
jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik
akibatnya. (An-Nisa’ : 59)
Kata
شَىْءٍ (sesuatu) di ayat ini bentuk nakirah dalam konteks syarth
(syarat), sehingga meliputi seluruh perselisihan kontradiktif baik dalam
ushul (urusan pokok) ataupun furu’ (urusan cabang). Tafsir ini
sebagaimana diungkapkan oleh Al-‘Allamah Muhammad Al-Amin
Asy-Syinqithy.[13]
Ibnul
Qayyim berkata: “Dan jika tidak ada penjelasan hukum -dan tidak
mencukupi- tentang perkara yang mereka perselisihkan dalam kitab Allah
dan sunnah Rasul-Nya, niscaya Allah tidak akan memerintahkan untuk
mengembalikan perselisihan kepada Kitab dan Sunnah. Karena tidak mungkin
bagi Allah memerintahkan untuk mengembalikan perselisihan yang terjadi
kepada orang yang tidak memiliki kemampuan memutuskan perselisihan
tersebut. [14]
(Diterjemahkan
oleh Ummu Ishaq dari kitab Madarikun Nazhar, hal: 27-35, Penerbit: Dar
Sabilil Mu’minin, Cet:II/1418 H, karya Syaikh Abdul Malik bin Ahmad bin
Al-Mubarak Ramadhani Al-Jazairi)
_______
Footnote
[1]. Madarijus Salikin (1/13)
[2].
Madarijus Salikin (1/72-73). Tafsiran ini shahih secara mauquf atas
Abul ‘Aliyah dan Al-Hasan. Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats-Tsiqat
(6/229) secara mu’allaq (tanpa menyebutkan sanadnya). Dan Ibnu Nashr
memaushulkannya (menyambungkan sanadnya) di dalam As-Sunnah, juga Ibnu
Jarir dalam tafsirnya (183), Ibnu Hatim dalam tafsirnya (1/21-22), dan
Al-Hakim (2/259). Al-Hakim dan Adz-Dzahaby menshahihkannya. Lihat pula
pada Al-Imamah war Radd ‘alar Rafidhah oleh Abu Nu’aim (73). Di dalamnya
terdapat hadits semisalnya dari Ibnu Mas’ud – semoga Allah meridhainya –
[3]. Ibnu ‘Abdil Barr mengeluarkan semisalnya dalam Jami’ul Bayan (2/97), dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dari Ibnu Umar (1/305 )
[4]. Hadits hasan diriwayatkan oleh Ahmad dan selainnya
[5]. Syarh Ushuli I’tiqadi Ahlis Sunnah oleh Al-Lalika’I no. 317. Lihat pula Asy-Syari’ah oleh Al-Ajury hal. 14
[6]. Lihat takhrij pengambilan dalil imam Malik dengan ayat ini dalam I’lamul Muwaqqi’in oleh Ibnul Qayyim (4/94-95 )
[7]. Barangsiapa ragu dengan jumlah generasi, silakan lihat pada Ash-Shahihah oleh Al-Albany no. 700
[8]. Lihat Majmu’ul Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah (19/194)
[9]. Al-I’tisham (1/104)
[10]. Hal. 282-283 cetakan Al-Maktabul Islamy
[11].
Dalam kitab Asy-Syari’ah manuskrip Turki, lembaran 24, dan dalam kitab
yang telah dicetak hal. 63-64, tetapi padanya ada beberapa kesalahan
cetak, oleh karena aku (Syaikh Abdul Malik) tidak berpegang padanya
kecuali sedikit
[12].
Adz-Dzahaby berkata dalam As-Siyar (11/313): “Ini adalah kisah yang
menarik, meskipun dalam jalannya ada perawi majhul (tidak dikenal),
tetapi kisah ini mempunyai penguat.
[13]. Adhwa’ul Bayan (1/ 333)
[14]. I’lamul Muwaqqi’in (1/49)
http://sunniy.wordpress.com/2012/03/30/kewajiban-mengikuti-al-quran-dan-as-sunnah-berdasarkan-pemahaman-salafus-shalih/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar