Oleh: Ust. Sofyan Chalid
بسم الله الرحمن الرحيم

من رأى منكم منكراً فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان
“Barangsiapa di antara kalian yang
melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila
tidak mampu maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi maka dengan
hatinya, itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, no. 186)
Akan tetapi, masih banyak kaum muslimin
yang belum memahami bahwa untuk merubah kemungkaran yang dilakukan oleh
pemerintah muslim tidak sama dengan merubah kemungkaran yang dilakukan
oleh selainnya. Bahkan lebih parah lagi, kemungkaran yang dilakukan
penguasa dijadikan sebagai komoditi untuk meraih keuntungan oleh
sebagian media massa. Mahasiswa pun turun ke jalan untuk berdemonstrasi,
tak ketinggalan pula para “aktivis Islam” atau “aktivis dakwah” melakukan “aksi damai” yang menurut mereka itulah demo Islami, sehingga pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi korban.
Namun yang sangat mengherankan, ada sebagian orang yang mengaku Ahlus Sunnah, pengikut sunnah Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-
pun turut serta melakukan demonstrasi (yang mereka namakan dengan aksi
damai) dan mengkritik pemerintah muslim secara terang-terangan di media
massa. Maka seperti apakah bimbingan Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah ini?
Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- yang ma’shum,
yang tidak berkata kecuali wahyu yang diwahyukan kepadanya. Semua
perkataan bisa diterima atau ditolak, kecuali perkataan beliau -shallallahu’alaihi wa sallam-, beliau bersabda:
من أراد أن ينصح لذي سلطان فلا يبده علانية ولكن يأخذ بيده فيخلوا به فإن قبل منه فذاك وإلا كان قد أدى الذي عليه
“Barangsiapa yang ingin menasihati
penguasa, janganlah ia menampakkannya terang-terangan. Akan tetapi
hendaklah ia meraih tangan sang penguasa, lalu menyepi dengannya. Jika
nasihat itu diterima, maka itulah yang diinginkan. Namun jika tidak,
maka sungguh ia telah melaksanakan kewajiban (menasihati penguasa).” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah dari ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-. Hadits ini di-shahih-kan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- dalam Zhilalul Jannah, (no. 1096)]
Demikianlah bimbingan Nabi yang mulia teladan kita –shallallahu’alaihi wa sallam-
dalam menasihati penguasa. Lalu seperti apakah pemahaman dan pengamalan
terhadap hadits di atas oleh para pengikut sunnah yang sejati, yakni
para sahabat dan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah?
Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim -rahimahumallah- dalam Shahih keduanya meriwayatkan:
قيل لأسامة لو أتيت فلانا (عند
الامام مسلم: عثمان بن عفان –رضي الله عنه-) فكلمته . قال إنكم لترون أنى
لا أكلمه إلا أسمعكم ، إنى أكلمه فى السر دون أن أفتح بابا لا أكون أول من
فتحه
“Dikatakan kepada Usamah (bin Zaid) radhiyallahu’anhuma, “Kalau sekiranya engkau mendatangi si fulan (dalam riwayat Al-Imam Muslim, si fulan yang dimaksud adalah: Utsman bin Affan
radhiyallahu‘anhu) lalu engkau menasihatinya?” Usamah menjawab,
“Sesungguhnya kalian benar-benar mengira bahwa aku tidak menasihatinya,
kecuali jika aku memperdengarkannya kepada kalian?! Sungguh aku telah menasihatinya secara diam-diam, tanpa aku membuka sebuah pintu yang semoga aku bukanlah orang pertama yang membuka pintu tersebut.” [HR. Al-Bukhari, (no. 3267, 7098) dan Muslim, (no. 7408) dari Abu Wa’il radhiyallahu’anhu]
Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- menjelaskan maksud perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah berbicara (menasihati) beliau tanpa aku membuka sebuah pintu“,
maknanya adalah: “Aku telah menasihatinya dalam perkara yang kalian
isyaratkan tersebut, tetapi dengan memperhatikan maslahat dan adab
(dalam menasihati penguasa), yakni secara rahasia, sehingga tidak terjadi pada perkataan (nasihatku) ini sesuatu yang bisa mengobarkan fitnah.” [Lihat Fathul Bari, (13/51)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- juga menukil penjelasan sebagian ulama tentang kemungkaran yang diisyaratkan kepada Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-
ternyata bukanlah kemungkaran yang tersembunyi dari masyarakat, tetapi
kemungkaran yang zhahir dan telah tersebar beritanya di tengah-tengah
masyarakat, yaitu tentang salah seorang pejabat Utsman bin Affan -radhiyallahu’anhu- yang bernama Al-Walid bin ‘Uqbah yang tercium dari mulutnya bau nabidz (sejenis khamar), kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata dalam menjelaskan perkataan Usamah,
“Sungguh aku telah menasihatinya
secara rahasia (tidak terang-terangan), tanpa aku membuka sebuah pintu”,
makna (pintu) yang dimaksud adalah: “Pintu pengingkaran atas
kemungkaran para penguasa secara terang-terangan, karena khawatir akan
memecah belah kalimat (yakni persatuan kaum muslimin di bawah seorang
pemimpin)”, kemudian beliau (Usamah) memberitahu mereka bahwa ia tidak
sedikitpun mencari muka pada seseorang meskipun pada seorang pemimpin,
akan tetapi ia telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menasihati
pemimpin secara rahasia (tidak terang-terangan)”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]
Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah- berkata, “Maksud Usamah,
bahwa ia tidak ingin membuka pintu (memberi contoh) cara mengingkari
penguasa dengan terang-terangan, karena ia khawatir dampak buruk dari
cara tersebut. Akan tetapi yang beliau lakukan adalah dengan lemah
lembut dan menasihati secara rahasia, karena cara tersebut lebih dapat
diterima”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]
Al-‘Allamah Badruddin Al-‘Aini Al-Hanafi –rahimahullah- juga menjelaskan perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh
aku telah menasihatinya secara rahasia“, maknanya, “Aku menasehati
penguasa secara diam-diam, sehingga aku tidak membuka sebuah pintu dari
pintu-pintu fitnah. Kesimpulannya, aku (Usamah) menasihatinya demi
meraih kemaslahatan bukan untuk memprovokasi munculnya fitnah (masalah),
karena cara mengingkari para penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya.
Sebab pada cara tersebut terdapat pencemaran nama baik para pemimpin
yang mengantarkan kepada terpecahnya kalimat (persatuan kaum muslimin)
dan tercerai-berainya jama’ah”. [Lihat Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, (23/33)]
Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- dalam menerangkan perkataan Usamah pada riwayat Muslim, beliau berkata: “Aku
membuka perkara yang aku tidak suka jika akulah yang pertama membukanya
(yakni mencontohkan keburukan),” maknanya adalah, “Terang-terangan
dalam menasihati penguasa di depan khalayak, sebagaimana pernah terjadi
pada para pembunuh ‘Utsman -radhiyallahu’anhu-. Dalam hadits ini
terdapat adab bersama penguasa, lemah lembut terhadap mereka, menasihati
mereka secara rahasia dan menyampaikan perkataan manusia tentang mereka
agar mereka berhenti dari kemungkaran tersebut. Ini
semua dilakukan jika memungkinkan, namun jika tidak memungkinkan untuk
menasihati dan mengingkari kemungkaran penguasa secara rahasia, maka
hendaklah seseorang melakukannya terang-terangan, agar pokok kebenaran
itu tidak ditelantarkan.” [Lihat Syarah Muslim, (18/118)]
Peringatan: Perkataan Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah-
pada bagian akhir yang kami garisbawahi di atas maksudnya adalah jika
keadaan memaksa untuk itu (bukan pada semua keadaan) karena hal tersebut
bukanlah kebiasaan para sahabat, sebagaimana perbuatan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- yang dijadikan dalil oleh hizbiyun untuk membolehkan menasihati pemerintah secara terang-terangan, yang insya Allah akan kami jawab dalam penjelasan syubhat dan bantahannya.
Al-Imam Al-Qurthubi -rahimahullah- menerangkan perkataan Usamah dalam riwayat Muslim: “Sungguh aku telah menasihatinya secara empat mata”, maksudnya adalah, “Ia (Usamah) telah menasihati Utsman
-radhiyallahu’anhu- secara langsung dengan perkataan yang lembut,
karena yang demikian itu lebih hati-hati untuk menghindari cara
terang-terangan dalam mengingkari penguasa dan menghindari sikap
penentangan terhadap penguasa, sebab cara menasihati penguasa dengan
terang-terangan sangat berpotensi melahirkan berbagai macam fitnah dan
kerusakan.” [Lihat Al-Mufhim Syarah Shohih Muslim, (6/619)]
Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah- berkata, “Sepatutnya
bagi orang yang mengetahui kesalahan penguasa dalam sebagian masalah
agar ia menasihati penguasa tersebut, dan janganlah ia menampakan celaan
kepada penguasa di depan publik. Akan tetapi sebagaimana terdapat dalam
hadits (yakni hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-), hendaklah ia meraih tangan sang penguasa dan menyepi dengannya, lalu menasihatinya, dan janganlah ia menghinakan sultan (penguasa) Allah”.[Lihat As-Sail Al-Jarrar, (4/556)]
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di –rahimahullah- berkata, “Bagi siapa yang melihat suatu kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, hendaklah ia memperingatkan mereka secara rahasia, tidak terang-terangan di khalayak, dengan cara yang lembut dan perkataan yang sesuai dengan keadaan.” [Lihat Ar-Riyadh An-Nadhirah, (hal. 50)]
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz –rahimahullah- berkata, “Bukan
termasuk manhaj salaf, membeberkan aib-aib penguasa, dan menyebutkannya
di atas mimbar-mimbar, karena hal itu akan mengantarkan kepada
ketidakstabilan (negara), sehingga masyarakat tidak mau dengar dan taat
kepada pemerintah dalam perkara ma’ruf, dan mengantarkan kepada
pemberontakan yang merusak dan tidak bermanfaat. Tapi
metode yang dicontohkan Salaf adalah menasehati secara empat mata,
menyurat, dan menghubungi para ulama yang memiliki akses langsung kepada
penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada kebaikan”. [Lihat Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, (hal. 27)]
Faqihuz Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah- berkata, “Mempublikasikan nasihat yang kita sampaikan kepada pemerintah terdapat dua mafsadat (kerusakan). Pertama: Hendaklah setiap orang khawatir, jangan sampai dirinya tertimpa riya’, sehingga terhapus amalannya. Kedua:
Jika pemerintah tidak menerima nasihat tersebut, maka jadilah itu
sebagai alasan bagi masyarakat awam untuk menentang pemerintah. Pada
akhirnya mereka melakukan revolusi (pemberontakan) dan terjadilah
kerusakan yang lebih besar.” [Dari kaset Asilah haula Lajnah Al-Huquq As-Syar’iyah, sebagaimana dalam Madarikun Nazhor, (hal. 211)]
Dari penjelasan para ulama di atas,
telah sangat jelas bahwa dalam menasihati penguasa tidak boleh dilakukan
secara terang-terangan, baik melalui demonstrasi, berbicara di
mimbar-mimbar terbuka, ataupun melalui kolom opini dan artikel yang
disebarkan secara terbuka di media-media. Apabila hal tersebut
dilakukan, maka akan melahirkan mafsadat-mafsadat yang besar
diantaranya:
- Memprovokasi masyarakat untuk memberontak kepada penguasa, terlebih jika nasihat tersebut tidak diindahkan oleh penguasa, maka akibatnya akan menceraiberaikan kesatuan kaum muslimin (lihat penjelasan Ibnu Hajar, Al-‘Aini dan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin –rahimahumullah-)
- Cara mengingkari kemungkaran penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya (lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini dan Al-Imam Al-Qurthubi –rahimahumallah-)
- Pencemaran nama baik dan ghibah kepada penguasa yang dapat mengantarkan kepada perpecahan masyarakat dan pemerintah muslim (lihat penjelasan Al-Imam Al-‘Aini –rahimahullah-)
- Membuat masyarakat tidak mau menaati penguasa dalam hal ma’ruf (lihat penjelasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-)
- Menyebabkan permusuhan antara pemimpin dan rakyatnya (lihat penjelasan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 99)
- Menjadi sebab ditolaknya nasihat oleh penguasa (lihat penjelasan Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah-)
- Menyebabkan tertumpahnya darah seorang muslim, sebagaimana yang terjadi pada para pembunuh Utsman -radhiyallahu’anhu- (lihat penjelasan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- dan juga penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani -rahimahullah- dalam Mukhtashor Shahih Muslim, hal. 335)
- Menghinakan sulthan Allah (lihat penjelasan Al-Imam Asy-Syaukani –rahimahullah-)
- Munculnya riya’ dalam diri pelakunya (lihat penjelasan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin -rahimahullah-)
- Menyelisihi dalil dan jalan As-Salafus Shalih
- Mengikuti jalan ahlul bid’ah (Khawarij)
Renungan Bagi para Pencela Pemerintah
Menasihati penguasa secara terang-terangan termasuk dalam kategori pemberontakan yang merupakan karakter Khawarij, yakni
satu sekte sesat yang dikenal dengan sikap pemberontakannya kepada
pemerintah muslim yang mereka anggap zalim dan tidak berhukum dengan
hukum Allah. Maka janganlah sampai engkau tergolong dalam kelompok
Khawarij -wahai pencela pemerintah- yang telah diperingatkan oleh Nabi –shallallahu’alaihi wa sallam-:
كلاب النار شر قتلى تحت أديم السماء خير قتلى من قتلوه
“Mereka adalah anjing-anjing neraka;
seburuk-buruknya makhluk yang terbunuh di bawah kolong langit, sedang
sebaik-baiknya makhluk yang terbunuh adalah yang dibunuh oleh mereka.” [HR. At-Tirmidzi, (no. 3000), dari Abu Umamah Al-Bahili -radhiyallahu’anhu-, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah, (no. 3554)]
Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah- berkata, “Nasihat kepada penguasa secara rahasia merupakan salah satu pokok dari pokok-pokok Manhaj Salaf yang diselisihi oleh ahlul ahwa’ wal bida’, seperti Khawarij.”
Beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-)
juga menjelaskan bahwa menyebarkan aib-aib penguasa merupakan bentuk
pertolongan kepada Khawarij dalam membunuh penguasa muslim, sehingga
jelas bahwa pemberontakan itu tidak hanya dengan senjata, tapi juga
dengan lisan.
Beliau berkata: “Hal tersebut dilarang
karena bisa mengantarkan kepada perbuatan menumpahkan darah dan
pembunuhan, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam At-Tabaqot, dari Abdullah bin Ukaim al-Juhani, bahwa beliau berkata:
“Aku tidak akan menolong pembunuhan seorang Khalifah selamanya setelah Utsman”, maka dikatakan kepadanya, “Wahai Abu Ma’bad, apakah engkau telah membantu (Khawarij) dalam membunuh Utsman?”
Maka beliau berkata, “Sungguh aku menganggap perbuatan membicarakan
keburukan-keburukan beliau sebagai bentuk pertolongan kepada (Khawarij)
dalam membunuhnya”.
Maka camkanlah baik-baik atsar ini,
tatkala beliau menganggap pembicaraan tentang kejelekan-kejelekan
penguasa termasuk perkara yang membantu pembunuhannya.”
Kemudian beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul hafizhahullah)
memberikan komentar pada catatan kaki, “Atsar ini berfaedah pelajaran
bahwa pemberontakan itu dapat terjadi dengan senjata (pedang), maupun
dengan ucapan. Berbeda dengan pendapat (yang salah) bahwa pemberontakan
itu tidak terjadi kecuali dengan senjata. Maka camkanlah ini baik-baik
dan ingatlah selalu.”
Beliau juga menukil penegasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-, “Bukan
termasuk manhaj Salaf menelanjangi aib-aib penguasa dan membicarakannya
di atas mimbar-mimbar, karena hal tersebut mengantarkan kepada kudeta
dan ketidaktaatan masyarakat dalam hal yang ma’ruf kepada penguasa.
Lebih dari itu, mengantarkan kepada pemberontakan yang hanya
membahayakan dan tidak bermanfaat.” [Lihat artikel As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-, softcopy dari www.sahab.net]
Syubhat dan Bantahannya
Keterangan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta penjelasan para ulama di atas sekaligus sebagai bantahan terhadap tuduhan hizbiyun bahwa:
- Ahlus Sunnah mendiamkan kemungkaran penguasa. Karena para ulama Ahlus Sunnah adalah budak penguasa yang kerjanya hanya mencari muka kepada penguasa
- Mengapa Ahlus Sunnah mengharamkan demokrasi namun tetap menaati pemimpin yang dihasilkan dari pesta demokrasi!?
Semua syubhat ini telah terjawab dalam keterangan di atas, yang ringkasnya:
Pertama: Ahlus
Sunnah tidak menasihati penguasa secara terang-terangan di depan
khalayak bukan berarti diam dengan kemungkaran penguasa, bukan pula
karena mencari muka kepada penguasa, tetapi karena mengikuti tuntunan
Islam dalam menasihati penguasa.
Kedua: Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan secara serampangan
terhadap pemerintah muslim yang terlibat dalam system kufur demokrasi
atau yang tidak berhukum dengan syari’at Islam, karena ada syarat-syarat
pengkafiran yang harus terpenuhi dan terangkatnya
penghalang-penghalang. Olehnya, Ahlus Sunnah tetap menaati seorang
pemimpin yang dihasilkan dari pesta demokrasi karena menganggapnya masih
muslim.
Masih ada beberapa syubhat yang sering dilontarkan oleh hizbiyun dan ingin kami jelaskan bantahannya –insya Allah- demi untuk menghilangkan kekaburan dalam masalah ini:
Syubhat pertama: Menasihati penguasa secara terang-terangan bukan termasuk pemberontakan dan bukan pula karakter Khawarij
Dari penjelasan di atas, jelaslah
kesalahan sebagian orang yang mengaku Ahlus Sunnah, namun menganggap
bahwa menasihati penguasa dengan membicarakan aib-aib penguasa secara
terang-terangan bukan termasuk pemberontakan dan karakter Khawarij,
sebagaimana yang dikatakan penulis buku Siapa Teroris? Siapa Khawarij?:
“Lebih dari itu, sekedar melakukan
demonstrasi saja sudah dianggap sebagai tindak pemberontakan dan
dikatakan sebagai Khawarij dan teroris. Hal ini tercermin dalam
perkataan beliau (Al-Ustadz Luqman Ba’abduh -pen), “Perlu ditekankan di
sini, bahwa bentuk pemberontakan terhadap penguasa itu tidak hanya dalam
bentuk gerakan fisik atau gerakan bersenjata saja”. Kemudian beliau
(Al-Ustadz Luqman Ba’abduh -pen) mengutip pendapat Syaikh Abdul Malik
Ramadhani Al-Jazairi di buku Madarik An-Nazhar (tanpa penyebutan
halaman) yang mengatakan, “Wal hasil, hanya sekedar memprovokasi massa
untuk menentang penguasa muslim (walaupun penguasa tersebut seorang
fasik) sudah layak dicap sebagai cara-cara khawarij.” [Lihat Siapa Teroris? Siapa Khawarij?, (hal. 224)]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullah- menjawab syubhat ini, dalam menjelaskan hadits tentang tuduhan kaum Khawarij kepada Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bahwa beliau belum berlaku adil dalam pembagian ghanimah. Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Ini merupakan dalil terbesar bahwa pemberontakan terhadap pemerintah bisa dengan senjata, ucapan dan komentar. Yakni, orang ini (Dzul Khuwaisirah) tidak
mengangkat pedang melawan Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-,
tetapi hanya sekedar mengingkari beliau (dengan ucapan).
Kami sangat memahami bahwa biasanya
tidak akan terjadi pemberontakan dengan senjata, kecuali telah didahului
oleh pemberontakan dengan kata-kata. Manusia tidaklah mungkin
menyandang senjata mereka untuk memerangi penguasa tanpa ada sesuatu
yang dapat memprovokasi mereka. Pasti ada sesuatu yang bisa memprovokasi
mereka, itulah ucapan (provokator). Maka pemberontakan kepada penguasa dengan kata-kata adalah pemberontakan secara hakiki, berdasarkan sunnah dan kenyataan.” [Lihat Fatawa Al-‘Ulama Al-Akabir, (hal. 96)]
Penjelasan di atas mengingatkan kita kepada salah satu sekte Khawarij yang bernama Al-Qo’adiyah.
Mereka ini tidak ikut mengangkat senjata melawan penguasa dalam
pemberontakan berdarah, tetapi kerjaan mereka hanyalah memprovokasi
masyarakat untuk memberontak kepada penguasa dengan bait-bait syair
maupun orasi-orasi di mimbar bebas.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Al-Qa’adiyah memprovokasi pemberontakan kepada para penguasa, meskipun mereka tidak terlibat langsung.” [Lihat Hadyus Sari, oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah-, hal. 459, sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, hal. 20]
Bahkan sebenarnya merekalah yang paling
berbahaya dan paling dahsyat fitnahnya, karena biasanya orang-orang yang
bisa melakukan provokasi adalah yang memiliki sedikit ilmu yang
dengannya dia menipu manusia. Seakan ia juga “termasuk dalam jajaran ulama terpandang”, sehingga disebutkan dalam satu atsar dari Abdullah bin Muhammad Adh-Dha’if –rahimahullah-, ia berkata: “Kelompok al-Qa’adiyah ini merupakan pecahan khawarij yang paling jelek!” [Riwayat Abu Dawud dalam Masaa’il Al-Imam Ahmad, (hal. 271), sebagaimana dalam Syarru Qatla tahta Adimis Sama’, (hal. 21)]
Syubhat kedua: Boleh menasihati penguasa secara terang-terangan jika kemungkaran tersebut dilakukan secara terang-terangan, dengan dalil perbuatan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri –radhiyallahu’anhu- dalam menasihati Marwan, walikota Madinah dan fatwa Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud –rahimahullah-
Adapun pembolehan menasihati penguasa
secara terang-terangan, jika penyimpangan penguasa dilakukan
terang-terangan sebagaimana dalam kisah sahabat yang mulia Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- dan fatwa Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud –rahimahullah-, beliau berkata dalam salah satu fatwa beliau, “Karenanya,
saya memandang jika perkara yang hendak disampaikan sebagai nasihat
merupakan perkara zahir, jelas dan nampak dalam artian kemungkaran itu
nampak dan jelas, maka tidak mengapa memberi nasehat kepada penguasa
dengan cara berhadapan dengannya, atau melalui kolom opini di
koran-koran (termasuk artikel), melalui mimbar-mimbar, atau dengan
metode-metode lainnya jika kemungkaran tersebut jelas dan nampak di
tengah-tengah manusia.”
Syubhat ini kami jawab dari beberapa sisi:
Pertama:
Kalau fatwa ini benar dari beliau, maka beliau sendiri (dalam fatwa
yang sama) telah memberikan batasan-batasan dan siapa yang berhak
melakukannya, diantaranya:
1). Dengan memperhatikan maslahat dan
mafsadat. Jika kita lihat mafsadat-mafsadat besar yang sangat mungkin
ditimbulkan dari cara menasihati pemerintah dengan terang-terangan,
tentunya hal tersebut tidak boleh untuk dilakukan.
2). Bukan semua orang yang boleh
melakukannya, tetapi para ulama yang benar-benar memiliki ilmu dalam
masalah tersebut dan memiliki kedudukan dalam pandangan pemerintah dan
masyarakat. Hal ini jelas dari perkataan beliau dan pendalilan beliau
dengan kisah Abu Sa’id al-Khudri -radhiyallahu’anhu-. Siapa Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu-, seorang ulama besar di kalangan sahabat dibandingkan dengan Marwan seorang Tabi’in[1]?
Kedudukannya adalah guru (Sahabat) dan murid (Tabi’in). Demikian pula,
tidak semua Sahabat dan Tabi’in yang hadir pada saat itu melakukan
pengingkaran secara terang-terangan.
Kedua: Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh sahabat Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu-,
maka itu adalah perkara yang sangat mendesak dan sangat terkait dengan
waktu yang singkat (yakni pelaksanaan shalat ‘ied) dan terjadi di depan
matanya dan di depan khalayak ramai, sehingga tidak mungkin untuk
ditunda. Karena kaidah yang disepakati, “Menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan tidak boleh”. Inilah maksud perkataan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- yang kami garis bawahi di atas.
Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah- menjelaskan perkataan Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- tersebut, “Perkataan beliau, “Ini semua dilakukan jika memungkinkan”,
yakni jika memungkinkan seseorang menasihati penguasa secara rahasia,
maka inilah yang wajib atasnya, tidak yang lainnya (yakni tidak boleh
terang-terangan).”
“Adapun perkataan beliau (An-Nawawi), “Namun
jika tidak memungkinkan untuk menasihati dan mengingkari kemungkaran
penguasa secara rahasia, maka hendaklah seseorang melakukannya
terang-terangan, agar pokok kebenaran itu tidak ditelantarkan.”
Maknanya adalah, “Janganlah seseorang mengingkari kemungkaran penguasa
secara terang-terangan, kecuali dalam keadaan sangat genting (daruroh
syadidah).”
Kemudian beliau (Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-) berkata dalam catatan kakinya, “Atas
dasar inilah (yakni dalam keadaan darurat) dibawa perbuatan Salaf
(dalam mengingkari kemungkaran penguasa terang-terangan), seperti kisah Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu’anhu- bersama Marwan, walikota Madinah ketika ia mendahulukan khutbah atas shalat ‘ied.” [Lihat Shahih Al-Bukhari (2/449 no. 956 bersama Fathul Bari kitab Al-’Idain, bab Al-Khuruj ilal Musholla bi ghayri Minbar]
“Oleh karenanya, ketika ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu- mengingkari perbuatan Hisyam -radhiyallahu’anhu- (yaitu, dengan menyampaikan hadits di atas) karena pengingkaran Hisyam terhadap kemungkaran penguasa secara terang-terangan, tanpa ada kebutuhan mendesak (darurat). Tidaklah yang dilakukan Hisyam -radhiyallahu’anhu-, kecuali tunduk (kepada hadits tersebut), wallahu A’lam.” (Lihat As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul, softcopy dari www.sahab.net)
Ketiga: Pengingkaran Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu
benar-benar di depan penguasa tersebut, sehingga memungkinkan bagi sang
penguasa untuk mengambil faedah “secara langsung” dari nasihat beliau,
atau sebaliknya sang penguasa bisa memberikan bantahan jika ia memiliki
dalil atau pertimbangan khusus sebagai seorang pemimpin.
Adapun jika dengan menyebarkan
artikel-artikel di media massa dan berorasi di mimbar-mimbar bebas yang
tidak dihadiri oleh penguasa, maka belum tentu bisa dibaca atau
didengarkan oleh penguasa (sebagai orang yang dinasihati), malah yang
terjadi adalah ghibah atau buhtan, pencemaran nama baik dan
provokasi untuk memberontak kepada penguasa. Bagaimana bisa seseorang
mengharamkan ghibah dan pencemaran nama baik dirinya dan para tokoh
idolanya sementara untuk penguasa dia bolehkan…Ma lakum kayfa tahkumun?!
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin –rahimahullah- menjelaskan, “Sesungguhnya
mengingkari kemungkaran yang tersebar adalah hal yang dituntut dan
tidak ada masalah dalam hal ini. Tapi yang menjadi masalah dalam
pembahasan kita adalah pengingkaran terhadap seorang penguasa, seperti
jika seseorang berpidato di masjid, kemudian ia berkata misalnya, “Negara (pemerintahnya) ini telah berbuat zhalim”, “Pemerintah telah melakukan (kesalahan)”,
ia terus berbicara tentang kemungkaran penguasa dengan cara
terang-terangan ini, padahal para penguasa tersebut tidak hadir dalam
majelis itu. Jelas berbeda jika pemimpin atau penguasa yang ingin engkau
nasihati itu ada di hadapan Anda dan ketika dia tidak ada. Karena
semua pengingkaran secara terang-terangan yang dilakukan oleh generasi
Salaf terjadi langsung di hadapan pemimpin atau penguasa.
Bedanya, jika ia hadir, memungkinkan baginya untuk membela diri dan
menjelaskan sisi pandangnya, dan bisa jadi ia yang benar dan kita yang
salah. Akan tetapi jika ia tidak hadir, tentunya ia tidak bisa membela
diri dan ini termasuk kezhaliman. Maka wajib bagi setiap kita untuk
tidak berbicara tentang kejelekan seorang penguasa tatkala ia tidak
hadir. Olehnya, jika engkau sangat menginginkan kebaikan (bagi seorang
penguasa) pergilah kepadanya, temuilah ia, lalu nasihati secara empat
mata.” [Lihat Liqo’ Al-Babil Maftuh, pertemuan ke-62, hal. 46)
Keempat: Jika fatwa Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud –rahimahullah-
diterima secara mutlak tanpa ada batasan-batasan sebagaimana yang
beliau jelaskan sendiri dan batasan-batasan lain yang dijelaskan oleh
para ulama lainnya, maka hal tersebut sangat jelas bertentangan dengan
dalil dan fatwa-fatwa para ulama lainnya sebagaimana yang kami nukil di
atas. Oleh karena itu kami mengingatkan kepada saudara-saudara kami yang
menasihati penguasa secara terang-terangan karena mengikuti fatwa Asy-Syaikh Ibnu Qu’ud –rahimahullah-. Ketahuilah –kami mencintai kebaikan untuk kalian sebagaimana kami cintai kebaikan itu untuk diri kami-:
Pertama:
Kalaupun benar sebagaimana yang kalian katakan (bahwa ada khilaf dalam
masalah ini), bukankah yang terbaik bagi kita untuk berhati-hati dengan
memilih jalan yang lebih selamat?!
Kedua: Jika kita mencari setiap keringanan para ulama, niscaya kita akan binasa, sebagaimana diriwayatkan dari sebagian Salaf, “Barangsiapa yang mencari-cari keringanan para ulama, maka dia telah mengarah kepada kemunafikan”.
Ketiga: Tidakkah kalian memikirkan mafsadat yang besar –terutama bagi orang-orang awam- jika pintu ini dibuka?!
Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul –hafizhahullah-
menerangkan, sedikitnya tiga kemungkaran besar yang menyelisihi manhaj
Ahlus Sunnah wal Jama’ah ketika seseorang menasihati penguasa secara
terang-terangan, padahal masih memungkinkan untuk dinasihati secara
rahasia,
Pertama: Menyelisihi hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu- yang memerintahkan untuk diam-diam dalam menasihati penguasa.
Kedua: Menyelisihi atsar-atsar dan manhaj Salaf, seperti atsar Usamah bin Zaid dan Abdullah bin Abi Aufa dan selainnya radhiyallahu’anhum.
Ketiga: Menyelisihi hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah di muka bumi maka Allah akan menghinakannya.” (HR. Al-Bukhari)
(Lihat As-Sunnah fii maa Yata’allaqu bi Waliyyil Ummah, Asy-Syaikh Ahmad bin Umar Bazmul, softcopy dari www.sahab.net)
Syubhat ketiga: Tidak mungkin menasihati penguasa seperti hadits ‘Iyadh bin Ganm maupun atsar Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhum-
di zaman ini, dikarenakan aturan protokoler pemerintahan modern terlalu
berbelit-belit, sehingga tidak memungkinkan setiap orang bisa bertemu
empat mata dengan seorang pejabat, maka terpaksa diambil jalan terakhir,
yaitu dengan melakukan demonstrasi, tapi demo yang Islami atau aksi
damai.
Menjawab syubhat ini kami katakan:
Pertama: Hadits ‘Iyadh bin Ganm dan atsar Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhum
itu tidak bermakna harus persis seperti teksnya, yaitu setiap orang
yang ingin menasihati harus memegang tangan penguasa, menyepi dengannya
atau bertemu empat mata dengannya. Masih ada cara lain yang dibolehkan,
asalkan tidak terang-terangan, seperti penjelasan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-, “Tapi
metode yang dicontohkan Salaf adalah: menasihati secara empat mata,
menyurat, dan menghubungi para ulama yang memiliki akses langsung kepada
penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada kebaikan.” (Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, hal. 27)
Kedua: Jika ternyata memang semua jalan yang disebutkan Asy-Syaikh Bin Baz –rahimahullah-
tidak bisa sama sekali atau penguasa tidak mau menuruti nasihat dan
merubah kebijakannya yang zalim, apakah kemudian boleh melakukan
demonstrasi atau menyebar artikel nasihat dan teguran kepada pemerintah
di media massa?
Jawabnya: Tetap tidak boleh, sebab hal tersebut bertentangan dengan dalil dan petunjuk Salaf dalam menghadapi keadaan semacam ini.
Al-Imam Ibnu Abdil Barr –rahimahullah- berkata, “Jika
tidak memungkinkan untuk menasihati penguasa (dengan cara yang syar’i),
maka solusi akhirnya adalah sabar dan doa, karena dahulu mereka –yakni
Sahabat- melarang dari mencaci penguasa”. Kemudian beliau menyebutkan
sanad satu atsar dari Anas bin Malik -radhiyallahu’anhu-, beliau (Anas)
berkata, “Dahulu para pembesar Sahabat Rasulullah -shallallahu’alaihi wa
sallam- melarang dari mencaci para penguasa.” [Lihat At-Tamhid, Al-Imam Ibnu Abdil Barr, (21/287)]
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri –rahimahullah- berkata, “Demi
Allah, andaikan manusia bersabar dengan musibah berupa kezhaliman
penguasa, maka tidak akan lama Allah Ta’ala mengangkat kezhaliman
tersebut dari mereka, namun apabila mereka mengangkat senjata melawan
penguasa yang zhalim, maka mereka akan dibiarkan oleh Allah. Dan demi
Allah, hal itu tidak akan mendatangkan kebaikan kapan pun. Kemudian
beliau membaca firman Allah:
وَأَوْرَثْنَا
الْقَوْمَ الَّذِينَ كَانُوا يُسْتَضْعَفُونَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ
وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ
الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ بِمَا صَبَرُوا وَدَمَّرْنَا مَا
كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوا يَعْرِشُونَ
“Maka sempurnalah kalimat Allah (janji-Nya) kepada
Bani Israel disebabkan kesabaran mereka dan Kami musnahkan apa yang
diperbuat oleh Fir’aun dan kaumnya dan apa yang mereka bina.” (Al-A’rof: 137).” [Lihat Madarikun Nazhor, (hal. 6)]
Penjelasan para ulama di atas dipahami dari banyak hadits Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-, diantaranya sabda beliau -shallallahu’alaihi wa sallam-:
من رأى من أميره شيئاً يكرهه فليصبر عليه ، فإنه من فارق الجماعة شبراً فمات إلا مات ميتة جاهلية
“Barangsiapa yang melihat sesuatu
yang tidak ia sukai (kemungkaran) yang ada pada pemimpin negaranya, maka
hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan
diri dari jama’ah (pemerintah) kemudian ia mati, maka matinya adalah
mati jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Abbas -radhiyallahu’anhuma-)
Juga sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-:
إنكم سترون بعدي أثرة وأموراً تنكرونها قالوا: ما تأمرنا يا رسول الله قال: أدوا إليهم حقهم وسلوا الله حقكم
“Sesungguhnya kelak kalian akan
melihat (pada pemimpin kalian) kecurangan dan hal-hal yang kalian
ingkari (kemungkaran)”. Mereka bertanya, “Apa yang engkau perintahkan
kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tunaikan hak mereka
(pemimpin) dan mintalah kepada Allah hak kalian (berdoa).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu’anhu-)
Dan sabda Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam-:
قلنا يا رسول الله : أرأيت إن كان
علينا أمراء يمنعونا حقنا ويسألونا حقهم ؟ فقال : اسمعوا وأطيعوا . فإنما
عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم
“Kami bertanya, wahai Rasulullah,
“Apa pendapatmu jika para pemimpin kami tidak memenuhi hak kami (sebagai
rakyat), namun tetap meminta hak mereka (sebagai pemimpin)?” Maka Nabi
-shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda, “Dengar dan taati (pemimpin
negara kalian), karena sesungguhnya dosa mereka adalah tanggungan mereka
dan dosa kalian adalah tanggungan kalian.” (HR. Muslim dari Wail bin Hujr -radhiyallahu’anhu-)
Maka jelaslah, ketika sudah tidak ada
lagi solusi lain untuk merubah kemungkaran penguasa, tidak dibenarkan
sama sekali melakukan demonstrasi, meskipun berupa aksi damai dan tidak
pula dengan menyebar artikel dan berbicara tentang kejelekan penguasa di
khalayak ramai, karena semua itu bertentangan dengan tuntunan Allah Ta’ala yang lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Jadi, tidak ada dalam Islam istilah demonstrasi Islami. Adapun yang dituntunkan oleh teladan kita, Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- dan para sahabat -radhiyallahu’anhum- adalah sabar dan doa.
Inilah sebaik-baiknya solusi bagi orang-orang yang beriman kepada ayat Allah Ta’ala dan sunnah Rasul-Nya -shallallahu’alaihi wa sallam-.
Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Muwaffiq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar