[Artikel
ini merupakan potongan terakhir dari tulisan ust. Luqman Jamal
-hafizhahullah- yang dimuat di majalah An-Nasihah dengan judul 'Aqidah
Ahlussunnah wal Jamaah Terhadap Penguasa']
Orang-orang
yang tidak menjadikan nash Al-Kitab dan As-Sunnah serta atsar salaf
sebagai acuan karena tidak bernilai di dalam hati mereka, sebaliknya
mereka akan menjadikan acuan dan rujukan pemikiran-pemikiran yang
kebanyakannya diserap dari luar Islam, mereka akan melemparkan banyak
syubhat (kerancuan pemahaman), di antaranya :
Satu: Keluar dari ketaatan terhadap penguasa (baca:memberontak) hanyalah kalau mengangkat senjata.
Bantahan:
Dikutipkan dari Fadhilatusy Syaikh Doktor Sholeh As-Sadlan, beliau pernah ditanya :
“Saya
melihat Syaikh tidak membatasi keluar (dari ketaatan,–pent.) hanya
dengan senjata bahkan Syaikh menganggap bahwa keluar kadang dengan lisan
…?”.
Beliau
menjawab : “Ini adalah pertanyaan yang penting. Sebagian dari ikhwah
kadang melakukan hal ini dengan niat yang baik dengan keyakinan bahwa
keluar hanyalah dengan (mengangkat) senjata saja. Namun sebanarnya,
keluar (dari ketaatan) tidaklah terbatas hanya dengan kekuatan senjata
atau menentang dengan cara-cara yang sudah terkenal saja, bahkan
sesungguhnya keluar dengan kalimat lebih parah daripada keluar dengan
senjata. Karena sesungguhnya keluar dengan senjata dan anarkhis tidak
akan terjadi kecuali dengan kalimat, maka kami katakan kepada ikhwah
yang dikuasai oleh semangat dan kami menyangka di antara mereka ada
kesholihan -insya Allah-, wajib bagi mereka untuk pelan-pelan, dan kami
katakan kepada mereka, pelan-pelan karena sikap keras dan anarkhis akan
melahirkan sesuatu dalam hati, mendidik hati yang lunak tidak mengenal
kecuali melawan dan juga membuka jalan di hadapan orang-orang yang punya
tujuan tertentu untuk berbicara dan mengungkapkan apa yang ada dalam
hati-hati mereka, kadang-kadang benar dan kadang-kadang batil. Maka
tidak ada keraguan bahwa memberontak dengan lisan dan menyebarkan
tulisan dengan berbagai macam cara atau menyebarkan kaset-kaset atau
ceramah-ceramah atau seruan-seruan yang membangkitkan manusia yang tidak
sesuai dengan syari’at, maka saya yakin bahwa ini adalah dasar
pemberontakan dengan senjata. Maka saya peringatkan dari hal itu dengan
peringatan yang keras, dan saya katakan kepada mereka, kalian harus
melihat/memperhatikan akibat-akibat yang akan terjadi dan melihat kepada
orang-orang yang telah mendahului kalian dalam masalah ini. Dan agar
mereka melihat kepada fitnah yang dirasakan oleh sebagian masyarakat
Islam apa sebabnya dan apa jalan yang menyebabkan mereka mengalami
keadaan sepeerti itu. Dan apabila kita sudah mengetahui hal itu maka
kita akan mengerti bahwa memberontak dengan lisan dan sibuk dengan
sarana-sarana komunikasi dan transportasi untuk membuat manusia lari,
memanas-manasi, anarkhis atau kekerasan akan menimbulkan fitnah dalam
hati”. (Lihat : ‘Ulama’us Su’udiyah Yu`akkiduna ‘alal Jama’ah hal. 5-6)
Maka
kesimpulannya bahwa memberontak dengan lisan lebih berbahaya daripada
dengan senjata, sebagaimana dalam riwayat dari Usamah bin Zaid,
dikatakan kepada beliau : “Tidakkah kamu masuk kepada ‘Utsman dan
berbicara kepadanya ?”, maka beliau menjawab : “Apakah kalian
berpendapat bahwa nanti dikatakan bahwa saya berbicara dengannya kalau
kalian dengar ?!, demi Allah, sungguh saya telah berbicara –antara saya
dengan di saja- dan saya tidak akan membuka suatu perkara yang saya
tidak suka menjadi orang yang pertama kali membukanya”.
Berkata
Al-Qodhy ‘Iyadh : “Maksud Usamah adalah bahwa dia tidak akan membuka
pintu secara terang-terangan untuk mengingkari Imam, sebab ditakutkan
dari akibatnya (yang jelek,–pent.) bahkan beliau lemah lembut dan
menasehatinya dengan sembunyi-sembunyi karena yang demikian itu lebih
mudah untuk diterima”. (Lihat : Fathul Bary 13/52)
Berkata
Syaikh Al-Albany : “Yang dimaksud adalah mengingkari Imam secara
terang-terangan di khalayak ramai, karena dari pengingkaran secara
terang-terangan ditakutkan akibatnya (yang jelek), sebagaimana yang
telah terjadi pada pengingkaran terhadap Utsman yang terang-terangan
menyebabkan terbunuhnya beliau”. (Lihat : Mukhtashor Shohih Muslim hal.
335)
Ini
adalah contoh dan kenyataan yang terjadi dari beribu-ribu kisah dan
kenyataan yang tercatat dan terpelihara dalam sejarah sebagai pelajaran
yang sangat berharga dan bermanfaat khususnya bagi orang-orang yang
demam politik praktis dan semangat yang membabi buta dalam mengingkari
penguasa.
Salah
seorang Amir Andalusia yang bernama Al-Hakam bin Hisyam bin Ad-Dakhil
termasuk raja yang sangat sombong, fasik dan kejam. Tetapi banyak ulama
yang berada dalam negaranya, sampai-sampai dikatakan bahwasanya ada 4000
ulama di Cordova (Ibu Kotanya,–pent.). Maka mulailah mereka merasa
susah atas pelanggaran-pelanggaran dan kesalahan-kesalahan yang
dilakukan oleh Al-Hakam bin Hisyam, lalu mereka
membangkitkan/memanas-manasi manusia atas amirnya dan berusaha untuk
melepaskan diri darinya. Mereka menyangka bahwa tidak halal lagi untuk
bersabar atas kelakuan-kelakuannya yang jelek dan tercela. Mereka lalu
bermusyawarah untuk menurunkannya dari kekuasaan, dan mereka
mempercayakan urusannya kepada salah seorang ahli syuro di Cordova
karena kesholihannya, akalnya dan agamanya. Maka merekapun memberitahu
kepadanya semua perkara dan mulailah dia memperlihatkan sikap condong
kepada mereka. Maka iapun mengundang mereka kemudian ia memberitahu
Al-Hakam tentang keadaan mereka, maka Al-Hakam pun mengutus kepada
mereka sebagian mata-matanya yang kemudian duduk di belakang tirai dan
penulis mereka menulis apa saja yang dikatakan oleh mereka tentang
Al-Hakam. Maka salah seorang dari mereka mengulurkan tangannya ke
belakang tirai dan iapun melihat mata-mata itu. Iapun berdiri dan
merekapun berdiri dan mereka berkata : “Kamu telah melakukannya wahai
musuh Allah”. Maka siapa yang lari pada waktu itu maka dia yang selamat
dan siapa yang tidak maka ditangkap, sekitar 77 orang dipenggal
leher-leher mereka dan disalib. Mulailah Al-Hakam mengumpulkan dan
menyiapkan tentara-tentaranya dan manusiapun menjadi berani dan marah
sehingga terjadilah peperangan di Ar-Robd yang mana pada peperangan itu,
Al-Hakam membunuh kurang lebih 40000 rakyatnya yang tidak berdosa yang
mana mereka berlebih-lebihan dalam merendahkan Al-Hakam, sampai-sampai
mereka pernah memanggil Al-Hakam dengan suara yang keras dari tempat
ibadah mereka di malam hari “Sholat, sholat, wahai orang yang mabuk”.
(Lihat Siyar a’lamin Nubala` 8/255-257)
Dua: Keluar dari ketaatan kepada penguasa (baca: memberontak) dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.
Bantahan :
Al-Imam
Ibnu Qoyyim berkata : “Jika mengingkari kemungkaran mengharuskan
timbulnya yang lebih mungkar dan lebih dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya
maka tidak boleh mengingkarinya walaupun Allah membenci kemungkaran itu
dan murka terhadap pelakunya seperti mengingkari para raja dan penguasa
dengan keluar dari mereka, karena sesungguhnya hal itu azab segala
kejelekan dan fitnah sampai akhir zaman.
Dan
para shahabat telah minta izin kepda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wa sallam untuk memerangi penguasa yang mengakhirkan shalat
dari waktunya. Mereka berkata : “Apakah kami memerangi meraka ? beliau
menjawab : Tidak, selama mereka menegakkan shalat dan beliau bersabda :
Siapa yang melihat dari amirnya suatu yang dia benci maka hendaklah ia
bersabar dan janganlah ia mencabut tangan dari ketaatan padanya. Dan
siapa yang memperhatikan apa yang terjadi dalam agama Islam berupa
fitnah-fitnah besar maupun kecil maka dia melihatnya dari
ditelantarkannya azab ini dan tidak bersabar atas kemungkaran dan
menuntut hilangnya kemungkaran tersebut maka melahirkan dari kemungkaran
yang lebih besar”.
Dan
perhatikanlah terjadi yang dialami gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
bersama murid-muridnya, Ibnu Qoyyim bercerita : “Saya mendengar
Syeikhul Islam berkata : Saya dan sebagian shahabat-shahabatku pernah
melewati suatu kaum di zaman tartar, diantara mereka ada yang sedang
minum khamar, maka orang yang bersamaku mengingkari mereka, maka saya
mengingkari apa yang dia lakukan dan saya katakan padanya : Sesungguhnya
Allah mengharamkan khamar karena menghalangi zikir kepada Allah,
menghalangi sholat sementara mereka, khamar mencegahnya untuk membunuh
jiwa dan menawan anak-anak dan mengambil harta benda maka tinggalkanlah
mereka”. (Lihat : I’lamul Muwaqqi’in 3/6-8).
Tiga:
Penguasa sekarang tidak sama dengan penguasa di zaman dahulu, penguasa
dahulu memberlakukan syari’at Islam, adil dan menyayangi rakyatnya,
adapun sekarang adalah sebaliknya.
Bantahan :
Telah
terdahulu dalil-dalil yang mewajibkan untuk taat kepada penguasa baik
yang adil maupun yang zholim, maka sebagai tambahan, kami nukilkan
beberapa nukilan.
Berkata
Imam Abul Walid Ath-Thurthusyi : “Jika kamu mengatakan bahwa
sesungguhnya penguasa-penguasa sekarang tidak sama dengan
penguasa-penguasa dahulu maka rakyat sekarang juga tidak sama dengan
rakyat dahulu. Dan kamu tidak boleh mencela penguasamu jika kamu melihat
peninggalan-peninggalan penguasa-penguasa dahulu lebih utama daripada
kalau penguasamu mencela kamu jika melihat peninggalan-peninggalan
rakyat yang dahulu. Maka jika penguasa zholim kepadamu maka wajib bagi
kamu untuk bersabar dan mereka yang menanggung dosa.
Dan
selalu saya mendengar manusia mengatakan : ‘Amal-amal kalian adalah
pelayan-pelayan kalian’, ‘Sebagaimana keadaan kalian demikian pula
(keadaan orang yang) dikuasakan atas kalian’, sampai saya mendapatkan
makna ini di dalam Al-Qur`an, Allah Ta’ala berfirman :
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضاً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan
demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi
teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan”. (QS.
Al-An‘am : 129)
Dan
dikatakan : ‘Apa yang kalian ingkari dari zaman kalian maka
sesungguhnya yang merusaknya atas kalian adalah amalan kalian’.”.
Berkata
Abdul Malik bin Marwan: “Berlaku adillah kepada kami wahai segenap
rakyatku, kalian menginginkan dari kami siroh (sejarah hidup) seperti
siroh Abu Bakar dan Umar sementara kalian tidak berperilaku pada kami
tidak pula pada diri-diri kalian dengan siroh Abu Bakar dan Umar”.
(Lihat Sirajul Muluk 100-101 dengan perantara Fiqhu As-Siyasah
Asy-Syar’iyyah)
Dan
Imam Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh telah
menyingkap syubhat dan kerancuan ini dengan gamblang dan jelas
sebagaimana dalam Ad-Duror As-Saniyyah 7/177-178, beliau berkata:
“Orang-orang
yang terfitnah itu (dengan syubhat seperti ini,–pent.) tidak tahu bahwa
kebanyakan penguasa kaum muslimin semenjak zaman Yazid bin Mu’awiyah
–kecuali ‘Umar bin ‘Abdil Aziz dan orang-orang yang dikehendaki Allah
dari Bani Umayyah- mereka telah terjatuh dalam perbuatan lancang,
kejadian-kejadian besar diantaranya pemberontakan dan kerusakan dalam
wilayah kaum muslimin. Meskipun demikian, sejarah dan perjalanan hidup
para Imam Ahli ilmu dan tokoh-toko besar bersama mereka
(penguasa,–pent.) dikenal dan masyhur. Tidaklah mereka mencabut tangan
dari ketaatan dari apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan dengannya
berupa syari’at-syari’at Islam dan kewajiban-kewajiban agama. Saya
sebutkan sebagai contoh yaitu : Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofy,
kekuasaannya terkenal dengan kezholiman, penindasan, melampaui batas
dalam menumpahkan darah, melanggar apa-apa yang diharamkan Allah dan
pembunuhan terhadap tokoh-tokoh umat seperti Sa’id bin Jubair dan
mengepung Ibnu Zubair yang telah berlindung di Masjidil Haram dan
melanggar kehormatan dan membunuh Ibnu Zubair walaupun penduduk Makkah,
tokoh-tokoh Madinah, Yaman dan kebanyakan tokoh-tokoh ‘Iraq telah
memberikan ketaatan dan bai’at.
Dan
Hajjaj merupakan pengganti dari Marwan kemudian dari anaknya Abdul
Malik , tidak ada seorangpun dari para khalifah yang mengamanatkan
kekuasaan kepada Marwan bahkan Ahlul Halli wal ‘Aqd tidak pula
membai’atnya. Meskipun demikian, tidak seorangpun dari ulama yang
menolak untuk taat dan tunduk pada Marwan pada perkara-perkara yang
boleh taat padanya berupa rukun-rukun Islam dan kewajiban-kewajibannya.
Ibnu Umar dan orang-orang yang mendapati Hajjaj dari kalangan shahabat
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak melepaskan
diri dan tidak pula menahan/menghalangi untuk taat padanya dalam hal-hal
yang mengokohkan Islam dan menyempurnakan iman.
Demikian
pula tokoh-tokoh yang hidup di zamannya dari kalangan tabi’in seperti :
Ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashry, Ibnu Sirin, Ibrahim At-Taimy dan
ulama-ulama seperti mereka dari tokoh-tokoh umat. Hal ini terus
berlangsung di antara ulama umat dari tokoh-tokoh dan Imam-Imamnya.
Mereka tetap memerintahkan untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
berjihad di jalan-Nya bersama setiap penguasa yang sholih maupun yang
jahat sebagaimana yang dikenal dalam buku-buku ushuluddin dan aqidah.
Demikian
pula halnya Bani Abbas, mereka menguasai negeri-negeri kaum muslimin
secara paksa dengan kekuatan pedang dan tidak ada seorangpun dari
kalangan ulama dan tokoh agama yang membantu mereka. Mereka membunuh
sejumlah besar dari Bani Umayyah, para penguasa dan wakil-wakilnya,
mereka membunuh Ibnu Hubairah Gubernur Iraq, membunuh Khalifah Marwan
bahkan diceritakan bahwa para algojo mereka membunuh 80 orang Bani
Umayyah dalam sehari, meletakkan permadani-permadani di atas mayat-mayat
mereka dan duduk diatasnya sambil berpesta pora, makan-makan dan
minum-minum.
Meskipun
demikian, sejarah para imam seperti : Al-Auza‘iy, Malik, Az-Zuhry,
Al-Laits bin Sa’ad, ‘Atho` bin Abi Rabah dalam menyikapi penguasa (Bani
Abbasiyah –pent.) tidaklah samar bagi yang mempunyai ilmu dan menelaah
(kitab-kitab sejarah,-pent.) Kemudian generasi Ahli Ilmu yang kedua
seperti : Imam Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Isma’il (Al-Bukhory),
Muhammad bin Idris (Asy-Syafi’iy), Ahmad bin Nuh, Ishaq bin Rahawaih dan
saudara-saudara mereka yang lain … terjadi di zaman mereka dari para
penguasa bid’ah-bid’ah yang besar, pengingkaran sifat-sifat (Allah) dan
mereka diajak untuk mengakuinya, diuji dengan hal tersebut bahkan sampai
dibunuh, seperti Ahmad bin Nashr, walaupun demikian tidak ada
seorangpun di antara mereka yang mencabut ketaatan dari penguasa dan
tidak pula berpendapat bolehnya memberontak kepada mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar